Halaman

Sabtu, 08 Januari 2011

JANGAN ASAL NGOMONG

Ada yang baca harian Analisa tanggal 5 Desember 2010 halaman 19. Ada tulisan dengan judul Peduli Jangan Sekedar slogan yang ditulis oleh Adelina Savitri Lubis. Tulisan ini merupakan hasil wawancara dengan Bapak Rahmad Nur Kurniawan, S.Psi sebagai Koordinator Klinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan juga sebagai Ketua Perhimpunan Konselor VCT HIV AIDS Indonesia (PKVHI) Sumut.
Hasil wawancaranya cukup panjang dan ada beberapa hal yang menurut saya perlu saya komentari agar masyarakat mendapat informasi yang berimbang.
Saya akan mengambil penggalan-penggalan dalam tulisan ini karena terlalu banyak kalau semuanya dimasukkan dalam komentar ini.
Pak Rahmad menjelaskan bahwa kunjungan orang untuk VCT ke Pusyansus Adam Malik pada September sebanyak 101 kunjungan, Oktober 105, dan November 104. Sedangkan yang positif HIV pada September 45 orang, Oktober 38 dan November 46 orang.
Dari data 3 bulan terakhir sahut Rahmad, hanya satu atau dua pasien merupakan rujukan dari LSM peduli HIV AIDS. Selebihnya bersifat kesadaran dari penderita atau dukungan keluarga. Padahal katanya di Sumut ini begitu banyak jumlah LSM yang konsen pada HIV AIDS. Buktinya aku Rahmad, November dari 104 hanya satu orang yang merupakan rujukan dari LSM. Sebelumnyapada Oktober 2010 dari 105 kunjungan hanya 3 orang merupakan rujukan LSM.Saya jadi heran, apakah mereka sungguh-sungguh peduli atau tidak. Dimana mereka? Tanya Rahmad
Dari pertanyaan Pak Rahmad diatas kelihatannya Pak Rahmad belum paham tentang konsep pemberdayaan, padahal katanya beliau cukup lama juga terlibat dalam kegiatan HIV AIDS , ketua PKVHI lagi bahkan saat ini sudah mendirikan LSM juga, wah mau dibawa kemana tuh LSM nya kalau sampai sekarang belum paham juga dengan konsep ke LSM an.
Pertama, Jika dilihat dari konsep pemberdayan masyarakat, artinya LSM sudah sangat berhasil dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Informasi tentang VCT sudah diketahui secara meluas oleh masyarakat sehingga masyarakat tidak perlu lagi ditemani hanya untuk sekedar VCT di Rumah sakit. Kita tahu bahwa program pendampingan HIV AIDS kepada masyarakat sudah lama dilakukan sebelum munculnya klinik-klinik VCT. Kalu kita ingat-ingat dulu sekitar akhir tahun 90an LSM sudah bekerja untuk malakukan pendampingan kepada masyarakat termasuk kelompok-kelompok yang beresiko tertular HIV. Bahkan dulu sebelum ada klinik VCT kita bingung mau dibawa kemana kalau ada orang yang mau tes HIV jika sudah kita konseling, katanya dulu RS belum bisa untuk tes HIV. Untunglah dulu ada kawan kita di Dinas Kesehatan Kota (DKK) Medan yang mau membantu, namanya Pak Darwis, jadi kalau ada orang mau tes HIV orangnya harus datang ke DKK dan Pak Darwis yang mengambil darahnya. Bahkan kalau Pak Darwis lagi ada tugas keluar kantor terpaksa kita datangai Pak Darwis dimana beliau berada dan pernah proses pengambilan darah dilakukan dipinggir jalan. Setelah darah diambil kita harus bawa sendiri darah itu ke Labkesda dan 3 hari kemudian kita diberitahu hasilnya. Begitulah dulu prosesVCT dilakukan. Jadi kalau menurut saya sebenarnya pelopor VCT di Sumut itu ya Pak Darwis, ehh btw dimana Pak Darwis? Masih di DKK kah? Terima kasih ya Pak jasa-jasa Bapak yang berani mengambil terobosan akan selalu kami ingat, jadi kangen nih sama Pak Darwis.
Artinya saat ini Masyarakat sudah sangat berdaya dan mampu untuk akses layanan VCT secara mandiri, dan tugas LSM bukan hanya untuk mengantar orang tes HIV saja, sejatinya adalah melakukan pemberdayaan kepada masyarakat, dan ini berhasil. Sebenarnya LSM tidak perlu ada jika pemerintah mampu melakukan tugas dan fungsinya. Tapi faktanya pemerintah belum mampu melakukan tugasnya dengan maksimal sehingga perlu mendapat bantuan dari peran serta masyarakat. Begitu juga dengan VCT di Pusyansus RS. Adam Malik, sejatinyaLSM gak perlu mengantar orang untuk tes HIV jika RS Adam Malik mampu melakukan tugasnya. Jadi LSM membantu untuk merujuk pasien untuk tes HIV itu karena Pusyansus RS.Adam Malik gak mampu untuk mengajak masyarakat yang beresiko tertular HIV agar mau untuk tes HIV.
Yang kedua seharusnya Pak Rahmad juga sudah tahu dong, kan tidak hanya Adam Malik saja yang ada VCTnya , di Sumut ada banyak tempat bisa VCT. Apa pak Rahmad belum paham juga? Bisa saya sebutkan tempat VCT selain Adam Malik, ada RS Pirngadi, RS Haji, RS. Bhayangkara, Rumkit Kodam, KKP Belawan, Puskesmas Pd. Bulan, PKM Tj. Morawa, Labkesda, Lab Prodia, Lab Paramita, dan masih banyak lagi. Jadi Pak Rahmad jangan “GR” dulu , la wong orang bisa datang kemana-mana kok. Jadi kalo LSM sedikit merujuk orang ke Pusyansus RS. Adam Malik bukan berarti LSM tidak peduli atau LSM tidak bekerja. LSM merujuk ke tempat lain juga kok. Coba sekali-sekali Pak Rahmad maen ke tempat VCT yang Lain deh.
Yang Ketiga, ehm..ehmm…harusnya ini jadi bahan evaluasi Pusyansus Adam Malik, kenapa LSM “males” merujuk pasien untuk VCT diPusyansus Adam Malik, ada apa dengan Adam Malik? Jangan malah menyalahkan LSM dong, ayak ayak wae Akang Rahmad teh….
Ehm.. ini baru tanggapan dari satu alinea saja, masih panjang nih ceritanya n baca terus ya, ini semakin seru ceritanya…
Pada alines berikutnya :
Khusus di RSUPH Adam Malik Medan, ungkap Rahmad, cukup banyak pasien HIV AIDS yang tidak memiliki pendamping. Diakuinya saat ini Klinik VCT Pusyansus RSUPH Adam MalikMedan, hanya memiliki tenaga-tenaga pendamping berasal dari 2 LSM Peduli HIV AIDS. Begitupun jumlah pendamping yang ada saat ini tidak cukup memenuhi kebutuhan pasien HIV AIDS. Terus terang kami sangat membutuhkan tenaga pendamping untuk pasien HIV AIDS. Bukankah kata “peduli” sebaiknya dipraktikkan secara nyata supaya peduli tak sekedar slogan”bilangnya.
Dari pernyataan PakRahmad diatas muncul pertanyaan:
Dimana tanggungjawab Dinas Kesehatan? Kok masih ada keluhan dari RS. Adam Malik tentang hal ini.Kan RS.Adam Malik bagian dari Dinkes. Padahal Dinas Kesehatan punya banyak dana untuk penanggulangan AIDS di Sumut. Baik dana yang barasal dari uang rakyat yang dihimpun dalam APBD atau dana dari rakyat Indonesia juga yang dihimpun melalui GFATM. Bagaimana nih pengelolaannya? kok masih ada kekurangan tenaga pendamping? Berarti benar dong penanggulangan AIDS di Sumut tidak berdasarkan kebutuhan lapangan? Gimana nih Dinas Kesehatan? eh GF,, eh…jadi bingung nih susah membedakan mana Dinas Kesehatan dan mana GF, la wong orangnya itu-itu juga..hee hee.
Atau bagaimana dengan peran KPA Sumut sebagai Koordinator dalam penanggulangan HIV AIDS di Sumut? Rasa-rasanya keluhan Pak Rahmad perlu segera ditindak lanjuti. Kan KPA dapat juga tuh dana dari pembayaran hutang atas pembelian kapal perang pemerintah Indonesia terhadap Jerman.
Jadi kalau mengutip kata-kata Pak Rahmad (Bukankah kata “peduli” sebaiknya dipraktikkan secara nyata supaya peduli tak sekedar slogan”bilangnya) artinya Pak Rahmad mengatakan Pemerintah atau Lembaga-lembaga yang dapat duit dari APBD dan GF selama ini hanya punya slogan saja , bukan peduli. Benarkah Pak Rahmad?
Alinea berikutnya
Berdasarkan factor resiko HIV AIDS menurut Rahmad, estimasi kalangan IDU sebetulnya sudah banyak melakukan tes HIV, bahkan cukup banyak yang sudah meninggal. Bagi kalangan IDU yang tergolong baru, mereka masih enggan memeriksakan diri. Ini merupakan PR besar bagi para aktifis LSM yang focus terhadap penanganan HIV AIDS di Sumut. Apalagi berdasarkan data kunjungan diKlinik VCT Pusyansus RSUPH Adam Malik Medan, belum begitu banyak kalangan IDU yang memeriksakan diri.
Komentar saya:
Emang masih ada IDU baru? Berapa jumlahnya yang baru? Lagi-lagi Pak Rahmad tidak paham situasi di lapangan. Hari gini ngomongin IDU baru? Kemudian ini jadi PR LSM? Apa gak salah nih, ini jadi PR nya pemerintah Pak! Siapa Pemerintah? Ya Bapak/Ibu yang selama ini digaji pake duitnya rakyat.itulah DINKES, KPA termasuk Pak Rahmad juga kan digaji pake duit rakyat kan, jadi harus kerja maksimal untuk melayani rakyat dong! Kasihan tuh rakyat udah bayarin gaji bapak /ibu kalo kerjanya meles-malesan. Kalo gak percaya baca deh UU Kesehatan 36/2010, Inpres No.3 tahun 2010, Strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 - 2014 (lampiran peraturan menteri koordinator kesejahteraan rakyat selaku ketua komisi penanggulangan aids nasional nomor 08/per/menko/kesra/i/2010). Gmana Pak Rahmad, udah paham?
Kemudian…Pak Rahmad bilang…
Klinik VCT Pusyansus RSUPH Adam Malik tetap mengikuti program Nasional, dimana konseling testing HIV AIDS tidak dipungut bayaran. Termasuk obat yang diberikan Cuma-Cuma (gratis). Juga tidak membebankan biaya kepada pasien yang memeriksakan tes CD4 tak terkecuali pemberian obat ARV.
Komentar:
Informasiyang disampaikan Pak Rahmad menyesatkan! Apanya yang gratis? Kalo tes HIV, ARV ya jelas itu sudah dibayar pake uangnya rakyat juga. Tapi kata-kata gratis itu pembohongan public. Coba kita datang ke Pusyansus Adam Malik untuk mengambil ARV, dipastikan kita bayar Rp 26.500 untuk setiap pengambilan obat.Jadi kalo sebulan 2 kali mengambil obat ya kita bayar Rp.53.000/bulan. Kalo setahun biayanya jadi Rp.636.000. So, apa betul tuh gratis???
CD4 gratis juga? Infonya perlu ditambah, yang gratis itu hanya tes CD4 yang pertama saja. Buat yang kedua dan seterusnya ya tetap harus bayar. Kan ODHA tes CD4 nya tidak cukup hanya 1 kali saja Pak, mereka butuh tes minimal 2 kali dalam setahun.
Ahh..udah dulu ah kayaknya udah kebanyakan…

Tidak ada komentar: