Sabtu, 08 Januari 2011
pos metro medan
Ada yang baca harian Analisa atau Pos Metro Medan sekitar tanggal 31 Agustus 2010 yang lalu? Di harian Pos Metro Medan menuliskan dengan judul “6 Cewek Disuntik HIV”. Ceritanya bermula adanya laporan Sa(25) dan Ir (28) kepada pihak kepolisan di Polresta Medan. Sa dan Ir serta 4 orang rekan kerja mereka mengalami peristiwa penusukan dengan memakai jarum suntik sekitar 23 juni 2010 dibagian bokong mereka. Peristiwanya terjadi ditengah diperjalanan ketika mereka sedang menuju tempat kerja mereka . Semua korban merupakan orang yang bekerja pada tempat yang sama yaitu di gedung Bank Sumut Medan. Karena khawatir orang yang menusukkan jarum suntik itu ingin menularkan HIV akhirnya setelah 2 bulan berlalu mereka memeriksakan diri untuk tes HIV, dan hasilnya negative. Saat ini kepolisian sedang melakukan penyelidikan untuk mengusut kasus tersebut yang motifnya diduga adalah adanya peyebatan virus HIV yang dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Peristiwa ini juga pernah terjadi sekitar setahun yang lalu dimana isyu santer menyebutkan sejumlah kursi penonton disejumlah bioskop di Medan telah dipasangi jarum suntik yang sudah terinveksi HIV-ADS, tapi sampai saat ini tidak ada saaupun korban yang melaporkan ke polisi. Bahkan dibeberapa radio di kota Medan mengangkat topic ini menjadi diskusi yang cukup hangat. Sewaktu saya menjadi narasumber dalam dialog interaktif disalah satu radio swasta di Medan ada seorang penelepon mengatakan bahwa adik temannya telah tertusuk jarum suntik ketika sedang menonton di bioskop. Tapi setalah saya beritahu alamat dan no tlp saya orang tersebut sampai saat ini juga belum pernah menghubungi saya. Jadi Waktu itu beritanya hanya menyebutkan katanya-katanya dan katanya.
Melihat cerita-cerita ini saya menjadi prihatin, mengapa yang selalu disalahkan selalu orang dengan HIV. Padahal belum ada bukti apapun, orang-orang sudah menuduh bahwa ini penyebaran HIV. Bagaimana dengan kemungkinan perampokan dengan pembiusan, bukannya sekarang juga banyak perampok yang menggunakan obat bius ketika melakukan aksinya.
Saya melihat masih tingginya stigmatisasi terhadap ODHA atau mungkinkah adanya upaya kriminalisasi terhadap ODHA? Pihak kepolisian juga kecolongan dalam menangani kasus ini, mengapa dugaannya selalu mengarah kepada penularan HIV, bukannya mengarah kepada tindakan criminal yang dilakukan oleh perampok dengan modus pembiusan. Atau ada motif lain yang perlu penyelidikan lebih jauh, mengingat semua korban adalah orang-orang dari satu perusahaan yang sama.
Peran Media juga sama kacaunya dalam pemberitaan, mereka membuat judul berita seolah-olah benar bahwa korban memang disuntik dengan virus HIV, padahal tidak seperti itu kebenarannya .
Kerja kita masih berat kawan, ayo rapatkan barisan…
Chandra
MENELAAH PROGRAM LJSS BERBASIS PUSKESMAS DI SUMUT
Dalam pertemuan Pengguna Narkoba Suntik bersama Dir Narkoba Polda Sumut yang diselenggarakan oleh KPA sumut pada tanggal 23 September 2010 di Medan mengangkat persoalan rendahnya penasun mengases Layanan Jarum Suntik Steril (LJSS) di puskesmas. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan yang didanai oleh GF-ATM R8. Dalam pertemuan ini diikuti oleh PKBI, Pikir, Galatea, Cordia dan perwakilan penasun dari Kota Medan 10 orang, perwakilan penasun dari Kabupaten Deliserdang 10 orang dan perwakilan penasun dari Kabupaten Simalungun 10 orang. Ketika ada pertanyaan pernahkan penasun mengambil jarum suntik baru dipuskesmas? Semua perwakilan penasun dari Medan menjawab tidak ada yang pernah, Deli serdang juga tidak ada yang pernah dan Simalungun kalau tidak salah ada 2 atau 3 orang yang pernah mengakses jarum suntik di puskesmas.
Masalah yang dikemukakan dalam undangan kegiatan ini menyebutkan salah satu alasan penasun enggan mengambil jarum suntik dari puskesmas krn penasun takut ditangkap polisi jika mengambil jarum suntik di puskesmas, tapi sayangnya penasun yang hadir lebih banyak bertanya tentang aspek hukum dari penggunaan narkoba. Bukan hambatan dalam mengakses layanan jarum suntik steril.
Tapi saya coba menjelaskan kepada kawan-kawan pecandu sebenarnya untuk di Medan sudah tidak ada lagi hambatan penasun untuk akses jarum suntik. Karena kepolisian di Medan sudah sangat mendukung untuk program Harm Reduction. Jadi kalau ada penasun membawa jarum suntik baik baru ataupun bekas tidak akan menjadi masalah lagi (tidak akan ditangkap polisi)
Saat ini kepolisian di Medan sudah menerbitkan surat dukungan untuk program HR sejak tahun 2004 dan pada tahun 2009 Poltabes Medan juga sudah menerbitkan surat izin No: B/6027/IX/2009/Tabes MS yang ditandatangani oleh Kapoltabes Medan Komber Drs. Imam Margono untuk penempatan logo Poltabes Medan dalam Stiker yang berbunyi “MEMBAWA JARUM SUNTIK BUKAN PELANGGARAN HUKUM” Artinya setelah dikeluarkannya izin untuk penempatan logo Poltabes Medan, maka hal-hal yang terkait dengan membawa, memiliki, menyimpan jarum suntik tidak akan menjadi masalah jika ada penggerebekan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap penasun.
Ini terjadi di Medan, bagaimana di kabupaten lain?
Jadi mengapa penasun masih enggan untuk datang ke puskesmas untuk akses jarum suntik , jika tidak ada hambatan dari kepolisian? Atau ada alasan lain ?
Dari hasil laporan survey cepat prilaku penasun di Kota Medan yang dilakukan oleh KPA Sumut pada bulan Juni 2010, yang melibatkan sekitar 210 penasun yang ada di Kota Medan, menunjukkan hasil tidak ada satupun penasun yang mengakses LJSS di Puskesmas. Jadi dalam survey tersebut ketika responden ditanya Dimana responden biasa mendapatkan jarum dan alat suntik steril (baru) dalam sebulan terakhir, 98 responden (46,66%) di LSM (LJASS) , 56 responden (26,66%) di klinik/ dokter praktek, 41 responden (19,52%) di apotik, 20 responden (9,52%) ke sesama penasun, dari 14 responden 6,66%) yang mendapat jarum dan alat suntik (baru) dari tempat lainnya yaitu membeli dari satelit . Namun 8 Responden (3,80%) tidak mendapat jarum dan alat suntik steril (baru) dalam sebulan terakhir.
Padahal ketika proses survey ini dilakukan program LJSS di puskesmas sudah berjalan sekitar 7 bulan. Tapi anehnya tidak ada satupun penasun yang mengakses LJSS dari puskesmas.
Untuk menjawab pertanyaan mengapa penasun enggan untuk mengakses LJSS di Puskesmas, Galatea melakukan survey kecil kepada para penasun yang ada di Medan pada tanggal 24 dan 27 September 2010 di 4 lokasi tongkrongan penasun.
Dari 89 responden yang ditanya menyebutkan bahwa hanya 6 orang (6,7%) yang pernah mengakses jarum suntik ke puskesmas. Sedangkan 83 orang (93,3%) tidak pernah akses jarum ke puskesmas. Ketika ditanya alasan mengapa tidak akses jarum ke puskesmas 28,1 % menyebutkan tidak tahu kalau di puskesmas ada program LJSS, 21,3% menyebutkan letak puskesmas terlalu jauh dari komunitas, 39,3% menyebutkan masih adanya LJSS yang dilakukan LSM di komunitas dan hanya 7,8% yang menyebutkan takut untuk datang ke puskesmas.
Jadi sebenarnya alasan terbesar penasun enggan datang ke puskesmas bukan karena takut , tapi karena masih adanya program LJSS yang dilakukan oleh LSM di komunitas. Tapi ketika ditanya seandainya program LJSS yang dilakukan oleh LSM berhenti, apa yang mereka lakukan untuk mendapatkan jarum suntik? Tetap saja puskesmas tidak menjadi pilihan. 75,2% lebih memilih beli jarum suntik di Apotik dan hanya 19,1% yang memilih untuk mengambil jarum suntik di puskesmas. 5,6% memilih untuk pakai jarum bekas.
Jika kondisi ini yang terjadi, lantas bagaimana solusinya. Sepertinya Program LJSS di puskesmas yang dikembangkan melalui program GF ATM R8 sudah berjalan hampir satu tahun, tapi kalau tidak dimanfaatkan dengan maksimal apa yang harus kita lakukan kedepan? Ini menjadi PR bagi para pengelola project GF-ATM. Kalau tidak segera melakukan evaluasi dan perbaikan strategi kemungkinan program LJSS di puskesmas ini akan mubazir dan sia-sia saja.
Semoga tulisan ini bisa menjadi masukan bagi para pengelola program HR melalui project GF-ATM di Sumut.
Mohon maaf atas segala kekurangan.
Salam
chandra
SOCIAL WATCH
Social Watch Indonesia
M. Firdaus (ASPPUK)
Wahyu Susilo (INFID)
Nani Zulminarni (PEKKA)
The global financial crisis has placed an additional burden on Indonesia, which was already facing problems such as a large foreign debt, corruption and macroeconomic policies that have failed to take concrete action towards poverty elimination. The severest effects have been felt by workers, since companies lay off their employees as a first option to save their assets. Civil society insists that the Government must take strategic steps to integrate poverty elimination into the national budget.
Although Indonesia performed better than its neighbours during the global recession, the country is still suffering from the impacts of the financial crisis that shook the world economy in the middle of 2008. Also, despite the fact that the Central Bank estimated growth of 5.6% for 2010 and as much as 6.5% for 2011, the announcement of several policy decisions seem to reflect the Government’s anxiety. These decisions, aimed at giving some security to economic actors and investors, failed to have this impact and instead created uncertainty regarding the national economy.
One reason that the country outperformed its neighbours is that it is less reliant on exports. Nevertheless, many sectors – such as rubber and palm plantations, the wood and furniture industries, mining, manufacturing (especially textiles and garments), the automotive industry, electronics and crafts – were severely hit. The SMERU Research Institute, which registered the different levels of impact in 2009, has noted that the crisis hit the hardest among people with the lowest income.[1] Instability in the labour market led to a reduction in wage levels and an increase in informal jobs. Women have suffered more than men from income declines or job losses – for instance, many women have already lost their employment in the handicraft and furniture industries in Lombok Barat and Jepara. Things could become much worse if the garment industry collapses since most its workers are women.[2]
An additional obstacle to poverty elimination
Before the global crisis hit the Government had increased its poverty elimination budget from Rp 51 trillion (USD 5.5 billion) in 2007 to Rp 58 trillion (USD 6.3 billion) in 2009.[3] Unfortunately, the level of results does not match the size of the budget: poverty was reduced by less than 2%.
The percentage of people living below the poverty line (out of the total of some 230 million inhabitants) has been fluctuating: 15.97% in 2005, 17.75% in 2006, 16.58% in 2007, 15% in 2008 and 14.5% in 2009.[4]
The Government goals for reducing the poverty rate were 9.5% in 2005, 8.9% in 2006, 7.9% in 2007 and 6.6% in 2008.[5] The initial goal of 8.2% in 2009 was subsequently adjusted to 12%-14% but the real poverty rate was still higher.[6] Poverty elimination programs in many government institutions at the national and local level will not be able to resolve the problem of poverty without bureaucratic reform and more political will.
At the same time, the effects of the global crisis make the reduction of poverty more difficult since Indonesia is facing such problems as a large foreign debt, corruption and a lack of consistency between macroeconomic policy on the one hand, and concrete actions to reduce poverty on the other. In August 2009, Bank Indonesia reported that the country’s foreign debt had reached USD 165 billion.[7] Budget statistics issued by the Ministry of Finance show that the budget for foreign debt payments is bigger than the budget for the education or health sectors: USD 10.4 billion was allocated for foreign debt payment and interest in 2009 while only USD 9 million was allocated for education and USD 1.7 million for health.[8]
Impact on workers
A number of recent controversies regarding Government favouritism are reminders that in times of crisis it is the workers rather than the powerful who pay the costs. The corporations insist in laying off their workers in order to save their assets, with the support of the Government’s policy.[9] In addition to 250,000 jobs lost since September 2008, the International Labor Organization predicted that 170,000 Indonesian workers were laid off in 2009 as a result of the global financial crisis. The unemployment rate in Indonesia last year was estimated to be more than 8% and rising.[10]
For example, special treatment was given to Bumi Resources, the largest mining company in Indonesia, when the company’s share price fell dramatically and many voices in the Government insisted on stepping in to save it. Its major shareholder is PT Bakrie & Brothers Tbk, a corporation chaired by Aburizal Bakrie, who is also the chairman of the Golkar party (part of the ruling coalition).
The financial crisis is also a threat to Indonesian migrant workers since it has caused their countries of residence to employ more local workers. The Indonesian Labor Union Confederation warned that some 300,000 migrant workers were expected to return to Indonesia by the end of 2009 after being laid-off in host countries such as South Korea and Malaysia.[11]
The Government wrongly expected that remittances sent from abroad by migrant workers would provide an alternative source of revenue during the crisis. Some analysts and policy makers even argued that the Government should seek to increase the number of those earning overseas so that remittances could help reduce volatility in the Indonesian rupiah.[12] Indonesia expected remittances from its overseas workers to rise to around USD 10 billion in 2010.[13]
The MDGs in Indonesia
Recently, the National Development Planning Institute recognized that Indonesia would not achieve the Millennium Development Goals (MDGs) by 2015, especially those related to maternal mortality rates, HIV and the environment.[14] According to UNDP – Indonesia:[15]
More than 35 million people or 15.4% of the population live below the national poverty line.
The proportion of the population with sustainable access to clean water and sanitation has not increased significantly.
More than 30% of people in urban areas and 50% in rural areas do not have access to piped drinking water.
Indonesia’s maternal mortality rate of 307 per 100,000 remains one of the highest in Southeast Asia.
HIV and AIDS infections are accelerating sharply across the country, with Papua and high-risk urban areas of particular concern.
Approximately 95% of children enrol in primary school but only 81% continue to secondary school.
Between 1997 and 2000 Indonesia lost 3.5 million hectares of forest annually.
Tackling poverty: more efforts needed
Besides the increase in budgeting and fiscal stimulus, the Government has taken some steps in order to reduce poverty including Law 40 2004 regarding the National Social Security System.[16] This law aims to provide social security for all citizens, not just those who are registered as poor in the National Statistics Office. It establishes five national social security programs covering health insurance, work accident insurance, old age pensions, pension insurance and life insurance. The law calls for a mechanism to be set up to collect funds from compulsory contributions to ensure that all citizens are able to provide for their minimum basic life needs, including access to health care. However, the Government has only applied one regulation, concerning the procedures and organization of the Social Insurance Committee, while other important aspects – such as establishing the Social Insurance Administration Office to implement the law – were ignored. Thus, the old insurance system is still working as usual.
Poverty has been reduced very slowly and without leading to improvements in human development in 2009 and 2010. In the 2009 UNDP Human Development Report,[17] Indonesia is considered a country with several problems and a decreasing quality of life for its population. Its ranking in the Human Development Index has slipped from 107 in 2005 to 111 in 2009, worse than the Philippines (105) and Palestine (110).
The Government must take strategic steps to tackle this situation. First, it must integrate poverty elimination into the national budget, supporting the efforts of civil society organizations and avoiding overlapping and ineffective programs. Second, Government reforms must include the eradication of corruption and the establishment of good governance. The existence of a strategic plan for debt reduction and efforts to avoid new indebtedness are fundamental to facilitating sustainable development.
[1] SMERU, “Monitoring the Socioeconomic Impact of the Global Financial Crisis in Indonesia.” Available from:
[2] Ibid.
[3] Dian Kuswandini, “Fixing poverty: In numbers we trust?”, The Jakarta Post, 27 December 2008.
[4] National Development Planning Institute, Indonesia MDGs Report 2009, Jakarta.
[5] Tempo, 26 October 2008.
[6] Dian Kuswandini, op. cit.
[7] Wahyu Susilo, “5 years to Millennium Development Goals deadline”, GCAP-SENCA, 29 October 2009. Available from:
[8] Ibid.
[9] Ames Gross and Andrew Connor, “Indonesia in the Global Financial Crisis: What HR Managers Need to Know”, Pacific Bridge, March 2009. Available from:
[10] Ibid.
[11] Hera Diani, “Future Looks Bleak for Laid-Off Indonesian Workers”, The Irrawaddy, 19 November 2009. Available from:
[12] Reuters, “Indonesian Migrant Workers Expected to Send More Money Home in 2010,” The Jakarta Globe, 30 October 2009.
[13] Ibid.
[14] “RI to miss MDGs target”, The Jakarta Post, 20 April 2010.
[15] See:
[16] Available from:
[17] UNDP, Human Development Report, New York, 2009. Available from:
Terjemahan versi Google
Sosial Watch Indonesia
M. Firdaus (ASPPUK)
Wahyu Susilo (INFID)
Nani Zulminarni (PEKKA)
Krisis keuangan global telah menempatkan beban tambahan di Indonesia, yang sudah menghadapi masalah seperti utang luar negeri yang besar, korupsi dan kebijakan ekonomi makro yang telah gagal untuk mengambil tindakan konkrit terhadap penghapusan kemiskinan. Efek terberat telah dirasakan oleh pekerja, karena perusahaan memecat karyawan mereka sebagai pilihan pertama untuk menyelamatkan aset mereka. masyarakat sipil menegaskan bahwa Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis untuk mengintegrasikan penghapusan kemiskinan ke dalam anggaran nasional.
Walaupun Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara tetangganya selama resesi global, negara ini masih menderita dampak krisis keuangan yang mengguncang perekonomian dunia pada pertengahan tahun 2008. Juga, meskipun fakta bahwa Bank Sentral diperkirakan pertumbuhan 5,6% untuk tahun 2010 dan sebanyak 6,5% untuk tahun 2011, pengumuman keputusan beberapa kebijakan tampaknya mencerminkan kecemasan Pemerintah. Keputusan ini, ditujukan untuk memberikan keamanan beberapa dengan pelaku ekonomi dan investor, gagal memiliki dampak ini dan bukannya menciptakan ketidakpastian mengenai ekonomi nasional.
Salah satu alasan bahwa negara itu mengungguli tetangganya adalah bahwa hal itu kurang bergantung pada ekspor. Namun demikian, banyak sektor - seperti industri karet dan kelapa sawit, kayu dan furnitur, pertambangan, industri (terutama tekstil dan garmen), industri otomotif, elektronik dan kerajinan - yang sangat memukul. Lembaga Penelitian SMERU, yang terdaftar di berbagai tingkat dampak pada 2009, telah mencatat bahwa krisis ini memukul paling keras di antara orang-orang dengan pendapatan terendah. [1] Instabilitas di pasar tenaga kerja menyebabkan penurunan tingkat upah dan peningkatan informal pekerjaan. Perempuan telah menderita lebih dari orang dari penurunan pendapatan atau kerugian pekerjaan - misalnya, banyak wanita telah kehilangan pekerjaan mereka di industri kerajinan tangan dan furnitur di Lombok Barat dan Jepara. Hal-hal bisa menjadi lebih buruk jika industri garmen runtuh karena pekerja yang paling adalah perempuan. [2]
Hambatan tambahan untuk penghapusan kemiskinan
Sebelum krisis global memukul Pemerintah telah meningkatkan anggaran penghapusan kemiskinan dari Rp 51 triliun (USD 5,5 miliar) pada tahun 2007 menjadi Rp 58 triliun (USD 6,3 miliar) pada tahun 2009 [3.] Sayangnya, tingkat hasil yang tidak sesuai ukuran anggaran: kemiskinan berkurang dengan kurang dari 2%.
Persentase orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (dari total sekitar 230 juta jiwa) telah berfluktuasi: 15,97% pada tahun 2005, 17,75% di tahun 2006, 16,58% di tahun 2007, 15% di tahun 2008 dan 14,5% pada tahun 2009. [ 4]
tujuan Pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan adalah 9,5% pada tahun 2005, 8,9% pada tahun 2006, 7,9% pada tahun 2007 dan 6,6% pada tahun 2008. [5] Tujuan awal 8,2% pada tahun 2009 selanjutnya disesuaikan sampai 12% -14%, tetapi tingkat kemiskinan yang sebenarnya masih lebih tinggi. [6] program eliminasi Kemiskinan di banyak lembaga pemerintah di tingkat nasional dan lokal tidak akan dapat menyelesaikan masalah kemiskinan tanpa reformasi birokrasi dan lebih banyak kemauan politik.
Pada saat yang sama, efek dari krisis global membuat pengurangan kemiskinan lebih sulit karena Indonesia menghadapi masalah seperti utang luar negeri yang besar, korupsi dan kurangnya konsistensi antara kebijakan makroekonomi di satu sisi, dan beton tindakan untuk mengurangi kemiskinan di sisi lain. Pada bulan Agustus 2009, Bank Indonesia melaporkan bahwa utang luar negeri negara telah mencapai Rp 165.000.000.000 [7.] Statistik Anggaran yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan menunjukkan bahwa anggaran untuk pembayaran utang luar negeri lebih besar daripada anggaran untuk pendidikan atau sektor kesehatan: Rp 10400000000 dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri dan bunga pada tahun 2009 sementara hanya USD 9 juta dialokasikan untuk pendidikan dan USD 1,7 juta untuk kesehatan. [8]
Dampak terhadap pekerja
Sejumlah kontroversi baru-baru ini tentang favoritisme Pemerintah pengingat bahwa pada saat krisis itu adalah pekerja bukan kuat yang membayar biaya. Perusahaan bersikeras dalam pemutusan hubungan kerja mereka dalam rangka untuk menyelamatkan aset mereka, dengan dukungan kebijakan pemerintah. [9] Selain 250,000 pekerjaan yang hilang sejak September 2008, Organisasi Buruh Internasional memperkirakan bahwa 170.000 pekerja Indonesia telah diberhentikan pada tahun 2009 sebagai akibat dari krisis keuangan global. Tingkat pengangguran di Indonesia tahun lalu diperkirakan lebih dari 8% dan meningkat. [10]
Misalnya, perlakuan khusus diberikan kepada Bumi Resources, perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia, ketika harga saham perusahaan jatuh secara dramatis dan banyak suara di Pemerintah berkeras melangkah untuk menyimpannya. pemegang saham utama adalah PT Bakrie & Brothers Tbk sebuah perusahaan dipimpin oleh Aburizal Bakrie, yang juga ketua umum Partai Golkar (bagian dari koalisi yang berkuasa).
Krisis keuangan juga merupakan ancaman bagi pekerja migran Indonesia sejak itu telah menyebabkan negara mereka tinggal untuk mempekerjakan pekerja yang lebih lokal. Tenaga Kerja Indonesia Konfederasi Serikat memperingatkan bahwa sekitar 300.000 pekerja migran yang diharapkan kembali ke Indonesia pada akhir tahun 2009 setelah di-PHK di negara tuan rumah seperti Korea Selatan dan Malaysia. [11]
Pemerintah diharapkan salah pengiriman uang yang dikirim dari luar negeri oleh para pekerja migran akan menyediakan sumber pendapatan alternatif selama krisis. Beberapa pengamat dan pembuat kebijakan bahkan berpendapat bahwa Pemerintah harus berupaya meningkatkan jumlah penghasilan yang luar negeri, sehingga pengiriman uang dapat membantu mengurangi volatilitas dalam rupiah Indonesia [12] Indonesia. Diharapkan pengiriman uang dari pekerja di luar negeri meningkat menjadi sekitar USD 10 miliar di 2010 [13.]
MDGs di Indonesia
Baru-baru ini, Perencanaan Pembangunan Nasional Institut diakui bahwa Indonesia tidak akan mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) pada tahun 2015, terutama yang berkaitan dengan tingkat kematian ibu, HIV dan lingkungan. [14] Menurut UNDP - Indonesia: [15]
Lebih dari 35 juta orang atau 15,4% dari penduduk hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
Proporsi penduduk dengan akses berkelanjutan terhadap air bersih dan sanitasi tidak meningkat secara signifikan.
Lebih dari 30% orang di daerah perkotaan dan 50% di daerah pedesaan tidak memiliki akses ke air minum PAM.
kematian ibu di Indonesia tingkat 307 per 100.000 masih salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Infeksi HIV dan AIDS mempercepat tajam di seluruh negeri, dengan Papua dan daerah perkotaan berisiko tinggi perhatian khusus.
Sekitar 95% anak-anak mendaftar di sekolah dasar, tetapi hanya 81% melanjutkan ke sekolah menengah.
Antara tahun 1997 dan 2000 Indonesia kehilangan 3.500.000 hektar hutan setiap tahunnya.
Menangani kemiskinan: upaya lebih dibutuhkan
Selain peningkatan anggaran dan stimulus fiskal, Pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk mengurangi kemiskinan termasuk UU 40 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional [16] Hukum ini. Bertujuan untuk memberikan jaminan sosial bagi seluruh warga negara, bukan hanya mereka yang terdaftar sebagai penduduk miskin di Kantor Statistik Nasional. Ini menetapkan lima program jaminan sosial nasional yang meliputi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, pensiun hari tua, asuransi pensiun dan asuransi jiwa. Hukum panggilan untuk mekanisme yang akan dibentuk untuk mengumpulkan dana dari sumbangan wajib untuk memastikan bahwa semua warga negara mampu memenuhi kebutuhan minimum mereka hidup dasar, termasuk akses ke pelayanan kesehatan. Namun, Pemerintah telah hanya berlaku satu peraturan, mengenai prosedur dan organisasi Komite Asuransi Sosial, sedangkan aspek-aspek penting lainnya - seperti pembentukan Kantor Asuransi Sosial Administrasi untuk melaksanakan hukum - diabaikan. Jadi, sistem asuransi lama masih bekerja seperti biasa.
Kemiskinan telah berkurang sangat lambat dan tanpa mengarah pada perbaikan dalam pembangunan manusia pada tahun 2009 dan 2010. Dalam Human Development Report UNDP 2009, [17] Indonesia merupakan negara dengan beberapa masalah dan penurunan kualitas hidup penduduknya. Its dalam peringkat Indeks Pembangunan Manusia telah merosot dari 107 pada tahun 2005-111 tahun 2009, lebih buruk daripada Filipina (105) dan Palestina (110).
Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis dalam mengatasi situasi ini. Pertama, penghapusan kemiskinan harus diintegrasikan ke dalam anggaran nasional, mendukung upaya dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan menghindari tumpang tindih dan program tidak efektif. Kedua, reformasi pemerintah harus mencakup pemberantasan korupsi dan pembentukan pemerintahan yang baik. Keberadaan sebuah rencana strategis untuk pengurangan utang dan upaya untuk menghindari hutang baru yang mendasar untuk memfasilitasi pembangunan berkelanjutan.
[1] SMERU, "Monitoring Dampak Sosial Ekonomi dari Krisis Keuangan Global di Indonesia" Tersedia dari.:
[2] Ibid.
[3] Dian Kuswandini, "Memperbaiki kemiskinan: Dalam angka kita percaya?", The Jakarta Post, 27 Desember 2008.
[4] Pembangunan Institut Perencanaan Nasional, Indonesia Laporan MDGs 2009, Jakarta.
[5] Tempo, 26 Oktober 2008.
[6] Dian Kuswandini, op. cit.
[7] Wahyu Susilo, "5 tahun untuk Tujuan Pembangunan Milenium Batas Waktu", GCAP-SENCA, 29 Oktober 2009. Tersedia dari:
[8] Ibid.
[9] Ames Bruto dan Connor Andrew, "Indonesia dalam Krisis Keuangan Global: Apa Manajer SDM Harus Tahu", Jembatan Pasifik, Maret 2009. Tersedia dari:
[10] Ibid.
[11] Hera Diani, "Tampaknya Memburuknya Masa Depan untuk Laid-Off Pekerja Indonesia", Irrawaddy itu, 19 November 2009. Tersedia dari:
[12] Reuters, "Tenaga Kerja Indonesia yang diharapkan untuk Kirim Uang Lebih Utama pada tahun 2010," The Jakarta Globe, 30 Oktober 2009.
[13] Ibid.
[14] "RI untuk kehilangan target MDGs", The Jakarta Post, 20 April 2010.
[15] Lihat:
[16 Tersedia dari]:
[17] UNDP, Laporan Pembangunan Manusia, New York, 2009. Tersedia dari:
JANGAN ASAL NGOMONG
Ada yang baca harian Analisa tanggal 5 Desember 2010 halaman 19. Ada tulisan dengan judul Peduli Jangan Sekedar slogan yang ditulis oleh Adelina Savitri Lubis. Tulisan ini merupakan hasil wawancara dengan Bapak Rahmad Nur Kurniawan, S.Psi sebagai Koordinator Klinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan juga sebagai Ketua Perhimpunan Konselor VCT HIV AIDS Indonesia (PKVHI) Sumut.
Hasil wawancaranya cukup panjang dan ada beberapa hal yang menurut saya perlu saya komentari agar masyarakat mendapat informasi yang berimbang.
Saya akan mengambil penggalan-penggalan dalam tulisan ini karena terlalu banyak kalau semuanya dimasukkan dalam komentar ini.
Pak Rahmad menjelaskan bahwa kunjungan orang untuk VCT ke Pusyansus Adam Malik pada September sebanyak 101 kunjungan, Oktober 105, dan November 104. Sedangkan yang positif HIV pada September 45 orang, Oktober 38 dan November 46 orang.
Dari data 3 bulan terakhir sahut Rahmad, hanya satu atau dua pasien merupakan rujukan dari LSM peduli HIV AIDS. Selebihnya bersifat kesadaran dari penderita atau dukungan keluarga. Padahal katanya di Sumut ini begitu banyak jumlah LSM yang konsen pada HIV AIDS. Buktinya aku Rahmad, November dari 104 hanya satu orang yang merupakan rujukan dari LSM. Sebelumnyapada Oktober 2010 dari 105 kunjungan hanya 3 orang merupakan rujukan LSM.Saya jadi heran, apakah mereka sungguh-sungguh peduli atau tidak. Dimana mereka? Tanya Rahmad
Dari pertanyaan Pak Rahmad diatas kelihatannya Pak Rahmad belum paham tentang konsep pemberdayaan, padahal katanya beliau cukup lama juga terlibat dalam kegiatan HIV AIDS , ketua PKVHI lagi bahkan saat ini sudah mendirikan LSM juga, wah mau dibawa kemana tuh LSM nya kalau sampai sekarang belum paham juga dengan konsep ke LSM an.
Pertama, Jika dilihat dari konsep pemberdayan masyarakat, artinya LSM sudah sangat berhasil dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Informasi tentang VCT sudah diketahui secara meluas oleh masyarakat sehingga masyarakat tidak perlu lagi ditemani hanya untuk sekedar VCT di Rumah sakit. Kita tahu bahwa program pendampingan HIV AIDS kepada masyarakat sudah lama dilakukan sebelum munculnya klinik-klinik VCT. Kalu kita ingat-ingat dulu sekitar akhir tahun 90an LSM sudah bekerja untuk malakukan pendampingan kepada masyarakat termasuk kelompok-kelompok yang beresiko tertular HIV. Bahkan dulu sebelum ada klinik VCT kita bingung mau dibawa kemana kalau ada orang yang mau tes HIV jika sudah kita konseling, katanya dulu RS belum bisa untuk tes HIV. Untunglah dulu ada kawan kita di Dinas Kesehatan Kota (DKK) Medan yang mau membantu, namanya Pak Darwis, jadi kalau ada orang mau tes HIV orangnya harus datang ke DKK dan Pak Darwis yang mengambil darahnya. Bahkan kalau Pak Darwis lagi ada tugas keluar kantor terpaksa kita datangai Pak Darwis dimana beliau berada dan pernah proses pengambilan darah dilakukan dipinggir jalan. Setelah darah diambil kita harus bawa sendiri darah itu ke Labkesda dan 3 hari kemudian kita diberitahu hasilnya. Begitulah dulu prosesVCT dilakukan. Jadi kalau menurut saya sebenarnya pelopor VCT di Sumut itu ya Pak Darwis, ehh btw dimana Pak Darwis? Masih di DKK kah? Terima kasih ya Pak jasa-jasa Bapak yang berani mengambil terobosan akan selalu kami ingat, jadi kangen nih sama Pak Darwis.
Artinya saat ini Masyarakat sudah sangat berdaya dan mampu untuk akses layanan VCT secara mandiri, dan tugas LSM bukan hanya untuk mengantar orang tes HIV saja, sejatinya adalah melakukan pemberdayaan kepada masyarakat, dan ini berhasil. Sebenarnya LSM tidak perlu ada jika pemerintah mampu melakukan tugas dan fungsinya. Tapi faktanya pemerintah belum mampu melakukan tugasnya dengan maksimal sehingga perlu mendapat bantuan dari peran serta masyarakat. Begitu juga dengan VCT di Pusyansus RS. Adam Malik, sejatinyaLSM gak perlu mengantar orang untuk tes HIV jika RS Adam Malik mampu melakukan tugasnya. Jadi LSM membantu untuk merujuk pasien untuk tes HIV itu karena Pusyansus RS.Adam Malik gak mampu untuk mengajak masyarakat yang beresiko tertular HIV agar mau untuk tes HIV.
Yang kedua seharusnya Pak Rahmad juga sudah tahu dong, kan tidak hanya Adam Malik saja yang ada VCTnya , di Sumut ada banyak tempat bisa VCT. Apa pak Rahmad belum paham juga? Bisa saya sebutkan tempat VCT selain Adam Malik, ada RS Pirngadi, RS Haji, RS. Bhayangkara, Rumkit Kodam, KKP Belawan, Puskesmas Pd. Bulan, PKM Tj. Morawa, Labkesda, Lab Prodia, Lab Paramita, dan masih banyak lagi. Jadi Pak Rahmad jangan “GR” dulu , la wong orang bisa datang kemana-mana kok. Jadi kalo LSM sedikit merujuk orang ke Pusyansus RS. Adam Malik bukan berarti LSM tidak peduli atau LSM tidak bekerja. LSM merujuk ke tempat lain juga kok. Coba sekali-sekali Pak Rahmad maen ke tempat VCT yang Lain deh.
Yang Ketiga, ehm..ehmm…harusnya ini jadi bahan evaluasi Pusyansus Adam Malik, kenapa LSM “males” merujuk pasien untuk VCT diPusyansus Adam Malik, ada apa dengan Adam Malik? Jangan malah menyalahkan LSM dong, ayak ayak wae Akang Rahmad teh….
Ehm.. ini baru tanggapan dari satu alinea saja, masih panjang nih ceritanya n baca terus ya, ini semakin seru ceritanya…
Pada alines berikutnya :
Khusus di RSUPH Adam Malik Medan, ungkap Rahmad, cukup banyak pasien HIV AIDS yang tidak memiliki pendamping. Diakuinya saat ini Klinik VCT Pusyansus RSUPH Adam MalikMedan, hanya memiliki tenaga-tenaga pendamping berasal dari 2 LSM Peduli HIV AIDS. Begitupun jumlah pendamping yang ada saat ini tidak cukup memenuhi kebutuhan pasien HIV AIDS. Terus terang kami sangat membutuhkan tenaga pendamping untuk pasien HIV AIDS. Bukankah kata “peduli” sebaiknya dipraktikkan secara nyata supaya peduli tak sekedar slogan”bilangnya.
Dari pernyataan PakRahmad diatas muncul pertanyaan:
Dimana tanggungjawab Dinas Kesehatan? Kok masih ada keluhan dari RS. Adam Malik tentang hal ini.Kan RS.Adam Malik bagian dari Dinkes. Padahal Dinas Kesehatan punya banyak dana untuk penanggulangan AIDS di Sumut. Baik dana yang barasal dari uang rakyat yang dihimpun dalam APBD atau dana dari rakyat Indonesia juga yang dihimpun melalui GFATM. Bagaimana nih pengelolaannya? kok masih ada kekurangan tenaga pendamping? Berarti benar dong penanggulangan AIDS di Sumut tidak berdasarkan kebutuhan lapangan? Gimana nih Dinas Kesehatan? eh GF,, eh…jadi bingung nih susah membedakan mana Dinas Kesehatan dan mana GF, la wong orangnya itu-itu juga..hee hee.
Atau bagaimana dengan peran KPA Sumut sebagai Koordinator dalam penanggulangan HIV AIDS di Sumut? Rasa-rasanya keluhan Pak Rahmad perlu segera ditindak lanjuti. Kan KPA dapat juga tuh dana dari pembayaran hutang atas pembelian kapal perang pemerintah Indonesia terhadap Jerman.
Jadi kalau mengutip kata-kata Pak Rahmad (Bukankah kata “peduli” sebaiknya dipraktikkan secara nyata supaya peduli tak sekedar slogan”bilangnya) artinya Pak Rahmad mengatakan Pemerintah atau Lembaga-lembaga yang dapat duit dari APBD dan GF selama ini hanya punya slogan saja , bukan peduli. Benarkah Pak Rahmad?
Alinea berikutnya
Berdasarkan factor resiko HIV AIDS menurut Rahmad, estimasi kalangan IDU sebetulnya sudah banyak melakukan tes HIV, bahkan cukup banyak yang sudah meninggal. Bagi kalangan IDU yang tergolong baru, mereka masih enggan memeriksakan diri. Ini merupakan PR besar bagi para aktifis LSM yang focus terhadap penanganan HIV AIDS di Sumut. Apalagi berdasarkan data kunjungan diKlinik VCT Pusyansus RSUPH Adam Malik Medan, belum begitu banyak kalangan IDU yang memeriksakan diri.
Komentar saya:
Emang masih ada IDU baru? Berapa jumlahnya yang baru? Lagi-lagi Pak Rahmad tidak paham situasi di lapangan. Hari gini ngomongin IDU baru? Kemudian ini jadi PR LSM? Apa gak salah nih, ini jadi PR nya pemerintah Pak! Siapa Pemerintah? Ya Bapak/Ibu yang selama ini digaji pake duitnya rakyat.itulah DINKES, KPA termasuk Pak Rahmad juga kan digaji pake duit rakyat kan, jadi harus kerja maksimal untuk melayani rakyat dong! Kasihan tuh rakyat udah bayarin gaji bapak /ibu kalo kerjanya meles-malesan. Kalo gak percaya baca deh UU Kesehatan 36/2010, Inpres No.3 tahun 2010, Strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 - 2014 (lampiran peraturan menteri koordinator kesejahteraan rakyat selaku ketua komisi penanggulangan aids nasional nomor 08/per/menko/kesra/i/2010). Gmana Pak Rahmad, udah paham?
Kemudian…Pak Rahmad bilang…
Klinik VCT Pusyansus RSUPH Adam Malik tetap mengikuti program Nasional, dimana konseling testing HIV AIDS tidak dipungut bayaran. Termasuk obat yang diberikan Cuma-Cuma (gratis). Juga tidak membebankan biaya kepada pasien yang memeriksakan tes CD4 tak terkecuali pemberian obat ARV.
Komentar:
Informasiyang disampaikan Pak Rahmad menyesatkan! Apanya yang gratis? Kalo tes HIV, ARV ya jelas itu sudah dibayar pake uangnya rakyat juga. Tapi kata-kata gratis itu pembohongan public. Coba kita datang ke Pusyansus Adam Malik untuk mengambil ARV, dipastikan kita bayar Rp 26.500 untuk setiap pengambilan obat.Jadi kalo sebulan 2 kali mengambil obat ya kita bayar Rp.53.000/bulan. Kalo setahun biayanya jadi Rp.636.000. So, apa betul tuh gratis???
CD4 gratis juga? Infonya perlu ditambah, yang gratis itu hanya tes CD4 yang pertama saja. Buat yang kedua dan seterusnya ya tetap harus bayar. Kan ODHA tes CD4 nya tidak cukup hanya 1 kali saja Pak, mereka butuh tes minimal 2 kali dalam setahun.
Ahh..udah dulu ah kayaknya udah kebanyakan…
Hasil wawancaranya cukup panjang dan ada beberapa hal yang menurut saya perlu saya komentari agar masyarakat mendapat informasi yang berimbang.
Saya akan mengambil penggalan-penggalan dalam tulisan ini karena terlalu banyak kalau semuanya dimasukkan dalam komentar ini.
Pak Rahmad menjelaskan bahwa kunjungan orang untuk VCT ke Pusyansus Adam Malik pada September sebanyak 101 kunjungan, Oktober 105, dan November 104. Sedangkan yang positif HIV pada September 45 orang, Oktober 38 dan November 46 orang.
Dari data 3 bulan terakhir sahut Rahmad, hanya satu atau dua pasien merupakan rujukan dari LSM peduli HIV AIDS. Selebihnya bersifat kesadaran dari penderita atau dukungan keluarga. Padahal katanya di Sumut ini begitu banyak jumlah LSM yang konsen pada HIV AIDS. Buktinya aku Rahmad, November dari 104 hanya satu orang yang merupakan rujukan dari LSM. Sebelumnyapada Oktober 2010 dari 105 kunjungan hanya 3 orang merupakan rujukan LSM.Saya jadi heran, apakah mereka sungguh-sungguh peduli atau tidak. Dimana mereka? Tanya Rahmad
Dari pertanyaan Pak Rahmad diatas kelihatannya Pak Rahmad belum paham tentang konsep pemberdayaan, padahal katanya beliau cukup lama juga terlibat dalam kegiatan HIV AIDS , ketua PKVHI lagi bahkan saat ini sudah mendirikan LSM juga, wah mau dibawa kemana tuh LSM nya kalau sampai sekarang belum paham juga dengan konsep ke LSM an.
Pertama, Jika dilihat dari konsep pemberdayan masyarakat, artinya LSM sudah sangat berhasil dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Informasi tentang VCT sudah diketahui secara meluas oleh masyarakat sehingga masyarakat tidak perlu lagi ditemani hanya untuk sekedar VCT di Rumah sakit. Kita tahu bahwa program pendampingan HIV AIDS kepada masyarakat sudah lama dilakukan sebelum munculnya klinik-klinik VCT. Kalu kita ingat-ingat dulu sekitar akhir tahun 90an LSM sudah bekerja untuk malakukan pendampingan kepada masyarakat termasuk kelompok-kelompok yang beresiko tertular HIV. Bahkan dulu sebelum ada klinik VCT kita bingung mau dibawa kemana kalau ada orang yang mau tes HIV jika sudah kita konseling, katanya dulu RS belum bisa untuk tes HIV. Untunglah dulu ada kawan kita di Dinas Kesehatan Kota (DKK) Medan yang mau membantu, namanya Pak Darwis, jadi kalau ada orang mau tes HIV orangnya harus datang ke DKK dan Pak Darwis yang mengambil darahnya. Bahkan kalau Pak Darwis lagi ada tugas keluar kantor terpaksa kita datangai Pak Darwis dimana beliau berada dan pernah proses pengambilan darah dilakukan dipinggir jalan. Setelah darah diambil kita harus bawa sendiri darah itu ke Labkesda dan 3 hari kemudian kita diberitahu hasilnya. Begitulah dulu prosesVCT dilakukan. Jadi kalau menurut saya sebenarnya pelopor VCT di Sumut itu ya Pak Darwis, ehh btw dimana Pak Darwis? Masih di DKK kah? Terima kasih ya Pak jasa-jasa Bapak yang berani mengambil terobosan akan selalu kami ingat, jadi kangen nih sama Pak Darwis.
Artinya saat ini Masyarakat sudah sangat berdaya dan mampu untuk akses layanan VCT secara mandiri, dan tugas LSM bukan hanya untuk mengantar orang tes HIV saja, sejatinya adalah melakukan pemberdayaan kepada masyarakat, dan ini berhasil. Sebenarnya LSM tidak perlu ada jika pemerintah mampu melakukan tugas dan fungsinya. Tapi faktanya pemerintah belum mampu melakukan tugasnya dengan maksimal sehingga perlu mendapat bantuan dari peran serta masyarakat. Begitu juga dengan VCT di Pusyansus RS. Adam Malik, sejatinyaLSM gak perlu mengantar orang untuk tes HIV jika RS Adam Malik mampu melakukan tugasnya. Jadi LSM membantu untuk merujuk pasien untuk tes HIV itu karena Pusyansus RS.Adam Malik gak mampu untuk mengajak masyarakat yang beresiko tertular HIV agar mau untuk tes HIV.
Yang kedua seharusnya Pak Rahmad juga sudah tahu dong, kan tidak hanya Adam Malik saja yang ada VCTnya , di Sumut ada banyak tempat bisa VCT. Apa pak Rahmad belum paham juga? Bisa saya sebutkan tempat VCT selain Adam Malik, ada RS Pirngadi, RS Haji, RS. Bhayangkara, Rumkit Kodam, KKP Belawan, Puskesmas Pd. Bulan, PKM Tj. Morawa, Labkesda, Lab Prodia, Lab Paramita, dan masih banyak lagi. Jadi Pak Rahmad jangan “GR” dulu , la wong orang bisa datang kemana-mana kok. Jadi kalo LSM sedikit merujuk orang ke Pusyansus RS. Adam Malik bukan berarti LSM tidak peduli atau LSM tidak bekerja. LSM merujuk ke tempat lain juga kok. Coba sekali-sekali Pak Rahmad maen ke tempat VCT yang Lain deh.
Yang Ketiga, ehm..ehmm…harusnya ini jadi bahan evaluasi Pusyansus Adam Malik, kenapa LSM “males” merujuk pasien untuk VCT diPusyansus Adam Malik, ada apa dengan Adam Malik? Jangan malah menyalahkan LSM dong, ayak ayak wae Akang Rahmad teh….
Ehm.. ini baru tanggapan dari satu alinea saja, masih panjang nih ceritanya n baca terus ya, ini semakin seru ceritanya…
Pada alines berikutnya :
Khusus di RSUPH Adam Malik Medan, ungkap Rahmad, cukup banyak pasien HIV AIDS yang tidak memiliki pendamping. Diakuinya saat ini Klinik VCT Pusyansus RSUPH Adam MalikMedan, hanya memiliki tenaga-tenaga pendamping berasal dari 2 LSM Peduli HIV AIDS. Begitupun jumlah pendamping yang ada saat ini tidak cukup memenuhi kebutuhan pasien HIV AIDS. Terus terang kami sangat membutuhkan tenaga pendamping untuk pasien HIV AIDS. Bukankah kata “peduli” sebaiknya dipraktikkan secara nyata supaya peduli tak sekedar slogan”bilangnya.
Dari pernyataan PakRahmad diatas muncul pertanyaan:
Dimana tanggungjawab Dinas Kesehatan? Kok masih ada keluhan dari RS. Adam Malik tentang hal ini.Kan RS.Adam Malik bagian dari Dinkes. Padahal Dinas Kesehatan punya banyak dana untuk penanggulangan AIDS di Sumut. Baik dana yang barasal dari uang rakyat yang dihimpun dalam APBD atau dana dari rakyat Indonesia juga yang dihimpun melalui GFATM. Bagaimana nih pengelolaannya? kok masih ada kekurangan tenaga pendamping? Berarti benar dong penanggulangan AIDS di Sumut tidak berdasarkan kebutuhan lapangan? Gimana nih Dinas Kesehatan? eh GF,, eh…jadi bingung nih susah membedakan mana Dinas Kesehatan dan mana GF, la wong orangnya itu-itu juga..hee hee.
Atau bagaimana dengan peran KPA Sumut sebagai Koordinator dalam penanggulangan HIV AIDS di Sumut? Rasa-rasanya keluhan Pak Rahmad perlu segera ditindak lanjuti. Kan KPA dapat juga tuh dana dari pembayaran hutang atas pembelian kapal perang pemerintah Indonesia terhadap Jerman.
Jadi kalau mengutip kata-kata Pak Rahmad (Bukankah kata “peduli” sebaiknya dipraktikkan secara nyata supaya peduli tak sekedar slogan”bilangnya) artinya Pak Rahmad mengatakan Pemerintah atau Lembaga-lembaga yang dapat duit dari APBD dan GF selama ini hanya punya slogan saja , bukan peduli. Benarkah Pak Rahmad?
Alinea berikutnya
Berdasarkan factor resiko HIV AIDS menurut Rahmad, estimasi kalangan IDU sebetulnya sudah banyak melakukan tes HIV, bahkan cukup banyak yang sudah meninggal. Bagi kalangan IDU yang tergolong baru, mereka masih enggan memeriksakan diri. Ini merupakan PR besar bagi para aktifis LSM yang focus terhadap penanganan HIV AIDS di Sumut. Apalagi berdasarkan data kunjungan diKlinik VCT Pusyansus RSUPH Adam Malik Medan, belum begitu banyak kalangan IDU yang memeriksakan diri.
Komentar saya:
Emang masih ada IDU baru? Berapa jumlahnya yang baru? Lagi-lagi Pak Rahmad tidak paham situasi di lapangan. Hari gini ngomongin IDU baru? Kemudian ini jadi PR LSM? Apa gak salah nih, ini jadi PR nya pemerintah Pak! Siapa Pemerintah? Ya Bapak/Ibu yang selama ini digaji pake duitnya rakyat.itulah DINKES, KPA termasuk Pak Rahmad juga kan digaji pake duit rakyat kan, jadi harus kerja maksimal untuk melayani rakyat dong! Kasihan tuh rakyat udah bayarin gaji bapak /ibu kalo kerjanya meles-malesan. Kalo gak percaya baca deh UU Kesehatan 36/2010, Inpres No.3 tahun 2010, Strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 - 2014 (lampiran peraturan menteri koordinator kesejahteraan rakyat selaku ketua komisi penanggulangan aids nasional nomor 08/per/menko/kesra/i/2010). Gmana Pak Rahmad, udah paham?
Kemudian…Pak Rahmad bilang…
Klinik VCT Pusyansus RSUPH Adam Malik tetap mengikuti program Nasional, dimana konseling testing HIV AIDS tidak dipungut bayaran. Termasuk obat yang diberikan Cuma-Cuma (gratis). Juga tidak membebankan biaya kepada pasien yang memeriksakan tes CD4 tak terkecuali pemberian obat ARV.
Komentar:
Informasiyang disampaikan Pak Rahmad menyesatkan! Apanya yang gratis? Kalo tes HIV, ARV ya jelas itu sudah dibayar pake uangnya rakyat juga. Tapi kata-kata gratis itu pembohongan public. Coba kita datang ke Pusyansus Adam Malik untuk mengambil ARV, dipastikan kita bayar Rp 26.500 untuk setiap pengambilan obat.Jadi kalo sebulan 2 kali mengambil obat ya kita bayar Rp.53.000/bulan. Kalo setahun biayanya jadi Rp.636.000. So, apa betul tuh gratis???
CD4 gratis juga? Infonya perlu ditambah, yang gratis itu hanya tes CD4 yang pertama saja. Buat yang kedua dan seterusnya ya tetap harus bayar. Kan ODHA tes CD4 nya tidak cukup hanya 1 kali saja Pak, mereka butuh tes minimal 2 kali dalam setahun.
Ahh..udah dulu ah kayaknya udah kebanyakan…
HILANGNYA HATI NURANI SANG DOKTER
Kehidupan pecandu narkoba memang sulit untuk dipisahkan dengan yang namanya narkoba itu sendiri. Setiap hari yang ada dalam pikiran pecandu bagaimana untuk mendapatka narkoba, apaun jenisnya. Jika melihat prilaku penggunaan narkoba di Kota Medan khususnya jenis narkoba yang disuntikkan, sekitar tahun 1996 para pecandu narkoba jenis suntikan selalu menyuntikkan putaw/heroin. Zat ini yang selalu membuat mereka “gedoy”. Namun sekitar tahun 2004, muncul SUBUTEX sebagai substitusi agar pecandu narkoba suntik tidak lagi menyuntikkan putaw . Namun sampai akhir taun 2009, program untuk menggantikan putaw dengan subutex bisa dikatakan Gagal,hal ini dikarenakan Subutex yang harusnya digunakan secara sublingual ternyata juga disuntikkan oleh pecandu.
Pertanyaannya mengapa mereka bisa sampai menyuntikkan subutex? Bukannya seharusnya dokter yang memberikan layanan subutex melakukan terapi dengan memberikan subutex langsung dihadapan dokter untuk memastikan subutex digunakan dengan cara yang benar
Ternyata kenyataan dilapangan sangat jauh berbeda. Subutex dijual dengan sangat bebas oleh para oknum dokter tanpa pengawasan dan evaluasi yang ketat. Sebut saja dokter “N” di klinik “SB”. Dokter ini menjual subutex dengan bebasnya, bahkan juga dibarengi dengan penjualan Diazepam secara bebas pula. Walhasil para pecandu hanya menjadi sapi perahan bagi sang dokter untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan subutex dan diazepam tanpa mempertimbangkan unsur perawatan atau substitusi yang diharapkan.
Tidak juah berbeda dengan oknum dr. E di klinik “St”. Dokter ini juga melakukan praktik yang tidak kalah ngawurnya. Dokter ini menjual subutex, subuxon, diazepam , stesolid dan paldimex seperti jual kacang goreng. Tidak ada lagi nurani dari sang dokter untuk melakukan perawatan bagi si pecandu, Dengan menjual bebas subutex, subuxon dll hingga kerap terjadinya pasar gelap dari obat-obatan tersebut.
Ujung-ujungnya kembali lagi pecandu jadi korbannya, sang dokter hanya mementingkan unsur bisnis dan keuntungan yang tinggi, tidak ada lagi rasa niat untuk membantu pecandu dari kesakitannya.
Lantas apa bedanya dokter tsb dengan Bandar narkoba?
Sebenarnya sudah tidak ada bedanya antara Bandar narkoba dan dokter tersebut, hanya saja sang dokter dilengkapi dengan surat izin praktik, tapi praktiknya sendiri sama dengan Bandar narkoba bahkan lebih sadis dari Bandar narkoba.
Untunglah subutex dan subuxon sekarang katanya tidak beredar lagi, tapi apa mereka berhenti jual “obat”? Tidak ! dr E saat ini menjual 1 paket obat yang katanya bisa menggantikan subutex/subuxon yang terdiri dari :
• Kodein 4 btr,
• sizoril 1mg,
• tramadol kapsul 50mg 1 btr,
• 1 ampul paldimex 5/10ml
Sang dokter hanya berpesan manis, “tolong jangan disuntik ya obatnya” sembari memberikan obat tsb kepada pasien.
Dimana hati nuranimu sang dokter?
Chandra
Kehidupan pecandu narkoba memang sulit untuk dipisahkan dengan yang namanya narkoba itu sendiri. Setiap hari yang ada dalam pikiran pecandu bagaimana untuk mendapatka narkoba, apaun jenisnya. Jika melihat prilaku penggunaan narkoba di Kota Medan khususnya jenis narkoba yang disuntikkan, sekitar tahun 1996 para pecandu narkoba jenis suntikan selalu menyuntikkan putaw/heroin. Zat ini yang selalu membuat mereka “gedoy”. Namun sekitar tahun 2004, muncul SUBUTEX sebagai substitusi agar pecandu narkoba suntik tidak lagi menyuntikkan putaw . Namun sampai akhir taun 2009, program untuk menggantikan putaw dengan subutex bisa dikatakan Gagal,hal ini dikarenakan Subutex yang harusnya digunakan secara sublingual ternyata juga disuntikkan oleh pecandu.
Pertanyaannya mengapa mereka bisa sampai menyuntikkan subutex? Bukannya seharusnya dokter yang memberikan layanan subutex melakukan terapi dengan memberikan subutex langsung dihadapan dokter untuk memastikan subutex digunakan dengan cara yang benar
Ternyata kenyataan dilapangan sangat jauh berbeda. Subutex dijual dengan sangat bebas oleh para oknum dokter tanpa pengawasan dan evaluasi yang ketat. Sebut saja dokter “N” di klinik “SB”. Dokter ini menjual subutex dengan bebasnya, bahkan juga dibarengi dengan penjualan Diazepam secara bebas pula. Walhasil para pecandu hanya menjadi sapi perahan bagi sang dokter untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan subutex dan diazepam tanpa mempertimbangkan unsur perawatan atau substitusi yang diharapkan.
Tidak juah berbeda dengan oknum dr. E di klinik “St”. Dokter ini juga melakukan praktik yang tidak kalah ngawurnya. Dokter ini menjual subutex, subuxon, diazepam , stesolid dan paldimex seperti jual kacang goreng. Tidak ada lagi nurani dari sang dokter untuk melakukan perawatan bagi si pecandu, Dengan menjual bebas subutex, subuxon dll hingga kerap terjadinya pasar gelap dari obat-obatan tersebut.
Ujung-ujungnya kembali lagi pecandu jadi korbannya, sang dokter hanya mementingkan unsur bisnis dan keuntungan yang tinggi, tidak ada lagi rasa niat untuk membantu pecandu dari kesakitannya.
Lantas apa bedanya dokter tsb dengan Bandar narkoba?
Sebenarnya sudah tidak ada bedanya antara Bandar narkoba dan dokter tersebut, hanya saja sang dokter dilengkapi dengan surat izin praktik, tapi praktiknya sendiri sama dengan Bandar narkoba bahkan lebih sadis dari Bandar narkoba.
Untunglah subutex dan subuxon sekarang katanya tidak beredar lagi, tapi apa mereka berhenti jual “obat”? Tidak ! dr E saat ini menjual 1 paket obat yang katanya bisa menggantikan subutex/subuxon yang terdiri dari :
• Kodein 4 btr,
• sizoril 1mg,
• tramadol kapsul 50mg 1 btr,
• 1 ampul paldimex 5/10ml
Sang dokter hanya berpesan manis, “tolong jangan disuntik ya obatnya” sembari memberikan obat tsb kepada pasien.
Dimana hati nuranimu sang dokter?
Chandra
Langganan:
Postingan (Atom)