Halaman

Kamis, 16 Juni 2011

HITUNG-HITUNGAN IDU DI MEDAN


AYO HITUNG-HITUNGAN JUMLAH IDU DI MEDAN

Berapa sebenarnya jumlah IDU di Medan? Pertanyaan ini agak sulit dijawab. Tergantung siapa yang akan menjawabnya, tapi fakta di lapangan akan bisa berkata dengan sebenarnya. Mengapa hitung-hitungan jumlah IDU menjadi penting, tidak lain untuk lebih memudahkan perencanaan intervensi lanjutan apa yang paling sesuai dengan IDU yang ada di Medan setelah mereka di jangkau. Untuk melihat jumlah IDU di Medan kita bisa melihat beberapa sumber diantaranya:

· Estimasi Nasional tahun 2006 memperkirakan ada sekitar 4539 IDU di Medan dan estimasi nasional pada tahun 2009 ada 1820 IDU di medan

· Yayasan Galatea melaporkan mendampingi 490 IDU pada tahun 2008, 429 pada tahun 2009 dan sampai akhir tahun 2010 hanya sekitar 336 IDU di medan.

· KPA Kota Medan, melalui penjangkauan SSR GFR8 melaporkan pada Januari 2011 ada 401 IDU dan 75 diantaranya merupakan IDU baru, sedangkan bulan Februari KPA Kota Medan melaporkan ada 511 IDU dan 52 diantaranya merupakan IDU baru.

· LSM yang bekerja untuk program Harm Reduction di Medan (Galatea, Pikir-PKPA, Jarkons dan Cordia) pada bulan Maret 2011 pernah melakukan hitung-hitungan jumlah IDU di Medan dan semua lembaga sepakat bahwa diperkirakan jumlah IDU di Medan sekitar 310 orang.dengan rincian :

o Lokasi AM : ± 120

o Lokasi N : ± 20

o Lokasi S : ± 15

o Lokasi H : ± 20

o Lokasi P : ± 10

o Lokasi K : ± 30

o Lain-lain : ± 35

o Lapas/Rutan : ± 60

Semua lembaga juga sepakat sudah sangat sulit untuk menemukan lokasi dan IDU baru. Lokasi-lokasi yang dijangkau sekarang merupakan lokasi yang sudah dijangkau lebih dari 5 tahun yang lalu, jadi tidak ada lokasi –lokasi komunitas IDU yang baru.

Jika melihat laporan dari KPA Kota Medan melalui penjangkauan yang dilakukan oleh SSR dan IU Project GFR8, justru ada peningkatan jumlah IDU yang dijangkau. Bahkan untuk kontak dengan IDU baru sangat tinggi angkanya yaitu 75 IDU baru pada Januari dan 52 IDU pada Februari 2011. Hal ini justru sangat berbeda dengan hasil perkiraan bersama yang dilakukan oleh beberapa LSM. Kita tidak tahu apakah angka ini hanya untuk menyenangkan lembaga Donor dalam pencapaian target IDU atau memang ada IDU sejumlah itu di Medan, Jika ada dimana mereka dijumpai?

Jika angka itu hanya untuk memuaskan Lembaga Donor, maka hal ini akan sangat membahayakan dalam perencanaan program penanggulangan AIDS kedepan. Misalnya saja dalam merencanakan kebutuhan Metadon, Layanan VCT, Kebutuhan ARV dan lain-lain. Bisa-bisa kebutuhan diatas kertas menjadi besar padahal tidak demikian kenyataan di lapangan.


Saatnya Mengevaluasi Program LJSS berbasis Puskesmas di Medan

Bagaimana nasib Layanan Jarum Suntik Steril (LJSS) di Puskesmas yang ada di Medan? Ini masih jadi pertanyaan sampai saat ini. Rasanya sudah setahun lebih program ini berjalan. Ide awal ketika menempatkan LJSS di Puskesmas memang baik, karena puskesmas sebagai institusi layanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat. Niat baik pemerintah untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat harus kita dukung, namun jika tidak dilakukan evaluasi dalam pelaksanaannya tentu saja akan menimbulkan pertanyaan buat kita semua.

Akhir tahun 2009 Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara telah menunjuk 2 puskesmas untuk melaksanakan LJSS di Kota Medan, namun bagaimana pelaksanaannya? Apakah pernah dievaluasi?

Dari data-data yang dikeluarkan oleh KPA Kota Medan, pada tahun 2011 kita bisa melihat seberapa efektifnya LJSS di puskesmas.

Bulan Januari 2011 jumlah jarum yang didistribusikan sebanyak 1106 pc, padahal IDU yang mengakses layanan ini sebanyak 227 orang. Artinya setiap IDU hanya mendapatkan jarum suntik rata-rata hanya 5 pc setiap bulannya. Bagaimana program LJSS bisa mencegah penularan HIV , Hep C dan penyakit lainnya jika distribusinya sangat kecil. Jika setiap IDU menyuntik hanya 1 kali saja setiap hari artinya IDU tersebut akan butuh 30pc jarum dalam sebulan. Lantas jika IDU hanya mendapatkan 5 pc salama 1 bulan bagaimana kebutuhan jarum mereka bisa terpenuhi? Ya mungkin mereka membeli atau mereka mendapatkan jarum steril dari LSM yang bekerja pd program HR, atau mereka pakai jarum bekas?

Tidak jauh berbeda kondisinya pada bulan Februari 2011, jarum steril yang didistribusikan hanya 1110 pc, padahal IDU yang mengakses sebanyak 363 orang. Artinya setiap IDU hanya mendapatkan jarum steril dari Puskesmas sebanyak 3 pc dalam sebulan. Jika begini keadaannya bisa dipastikan LJSS yang ada di Puskesmas tidak akan merubah situasi yang ada.

Segera Evaluasi LJSS di Puskesmas!

.

NYAMUK DAN AIDS


NYAMUK TIDAK MENULARKAN AIDS

Apakah nyamuk bisa menularkan aids?? bukankah nyamuk menghisap darah kita dan alat penghisapnya seperti jarum suntik yang dapat menularkan aids?? dari artikel dibawah ini dapat diketahui bahwa nyamuk bukanlah jarum suntik yang biasa kita gunakan.
Ada tiga teori mekanisme pengisapan darah oleh nyamuk yang biasa dijadikan alasan bahwa nyamuk dapat menularkan penyakit AIDS.


1. Pada teori pertama, seekor nyamuk memulai siklusnya dengan mengisap darah seorang pengidap HIV dan menelan virus tersebut bersama darah si penderita. Setelah kenyang, nyamuk ini kemudian pulang ke sarangnya, tanpa pindah ke korban selanjutnya. Virus yang terhisap ini masuk ke dalam tubuh, dan bertahan dalam tubuh nyamuk tersebut, virus kemudian berkembang biak dan setelah itu pindah ke dalam kalenjar air liur (salivary gland). Nyamuk yang terinfeksi HIV ini kemudian mencari korban selanjutnya untuk dihisap darahnya. Korban selanjutnya ini bisa saja seseorang yang bersih dari HIV, namun saat nyamuk menghisap darah orang ini virus HIV yang ada dalam kalenjar air liur nyamuk tersebut ikut masuk ke dalam tubuh orang tadi. Mekanisme yang pertama ini digunakan oleh sebagian besar parasit dalam nyamuk, seperti malaria, demam berdarah dan sejenisnya.

2. Pada teori kedua, seekor nyamuk memulai siklusnya dengan mengisap darah seorang pengidap HIV, namun belum kenyang mengisap ia sudah terbang karena terganggu. Daripada kembali ke korban yang pertama tadi, nyamuk memilih korban lain yang mungkin bebas dari AIDS. Setelah nyamuk tadi menusukkan mulutnya ke dalam kulit korbannya ini, nyamuk ini akan menularkan virus yang masih ada dalam mulutnya ke korbannya ini. Mekanisme ini termasuk mekanisme yang tidak lazim dalam infeksi parasit melalui nyamuk.

3. Teori ketiga mirip dengan teori kedua, dimana saat nyamuk mengisap darah korbannya yang mengidap HIV tiba-tiba ia diganggu dan kemudian terbang untuk mencari korban kedua. Namun dalam teori yang ketiga ini, tiba-tiba nyamuk tadi dipukul oleh si korban, dan kemudian darah nyamuk yang telah terkontaminasi HIV ini masuk ke dalam luka si korban tadi.
Masing-masing dari mekanisme ini telah diselidiki dan diteliti dengan menggunakan berbagai macam serangga pengisap darah, dan hasilnya secara jelas menunjukkan bahwa nyamuk tidak dapat menularkan AIDS.

Ada beberapa alasan kenapa nyamuk tidak dapat menularkan AIDS, yaitu :

1. Nyamuk mencerna virus yang menyebabkan AIDS
Ketika seekor nyamuk menularkan suatu penyakit dari satu orang ke orang yang lain, maka parasit tadi harus tetap hidup dalam tubuh nyamuk sampai nyamuk tadi selesai mengisap darah orang tersebut. Jika nyamuk mencerna parasit tersebut, maka siklus penularan ini akan terputus dan parasit tidak dapat ditularkan ke korban selanjutnya. Memang ada sejumlah cara yang dilakukan oleh parasit untuk menghindar agar tidak dicerna sebagai makanan. Ada sejumlah parasit yang memang memiliki ketahanan dari enzim pencerna yang ada dalam perut nyamuk, namun kebanyakan parasit-parasit ini menerobos jaringan dalam perut nyamuk agar terhindar dari enzim pencernaan nyamuk yang akan melumatnya sampai habis . Parasit malaria dapat bertahan selama 9-12 hari dalam tubuh nyamuk, yang mana dalam waktu itu parasit ini dapat berkembang menjadi bentuk yang lain. Penelitian terhadap virus HIV secara jelas menunjukkan bahwa virus yang bertanggung jawab terhadap infeksi HIV tersebut dianggap sebagai makanan dan dicerna bersama makanan yang berupa darah. Dalam 1-2 hari virus bersama makanan tadi telah habis dicerna oleh nyamuk, sehingga kemungkinan untuk terjadinya infeksi baru dapat dicegah. Karena virus tidak sempat bereproduksi dan tidak sempat pindah ke kalenjar saliva, maka penularan HIV melalui nyamuk merupakan hal yang tidak mungkin.

2. Nyamuk tidak terlalu banyak menghisap parasit HIV untuk menularkan AIDS melalui kontaminasi.
Parasit-parasit penyebar penyakit yang memiliki kemampuan untuk menularkan parasitnya dari satu individu ke individu lainnya melalui mulut harus memiliki tingkat sirkulasi yang sangat tinggi dalam aliran darah inangnya. Penularan melalui kontaminasi mulut memerlukan parasit yang jumlahnya cukup untuk dapat menyebabkan terjadinya infeksi baru. Jumlah parasit yang dibutuhkan bervariasi dari satu penyakit ke penyakit lainnya. Parasit HIV sendiri memiliki tingkat sirkulasi yang sangat rendah dalam aliran darah, nilainya jauh dibawah parasit-parasit nyamuk lainnya.
Dalam tubuh penderita AIDS sendiri virus HIV ini jarang-jarang yang tingkat sirkulasinya lebih dari 10 ekor per sirkulasi, dan biasanya 70-80% penderita HIV tidak terdeteksi adanya virus HIV dalam aliran darahnya. Para peneliti melakukan perhitungan sebagai berikut : Misal ada seseorang dengan tingkat sirkulasi virus HIV yang mencapai 1000 dalam aliran darahnya, kemudian ada nyamuk yang mengisap darahnya, maka kemungkinan masuknya satu virus HIV ke dalam seseorang bebas AIDS melalui nyamuk adalah 1 : 10 juta. Dengan kata lain seseorang baru terinfeksi satu virus HIV bila telah digigit oleh 10 juta nyamuk.
Dengan menggunakan perhitungan yang sama, maka jika seandainya ada seekor nyamuk yang sedang mengisap tubuh seseorang, kemudian nyamuk tersebut dipukul sehingga darah dalam tubuh nyamuk tadi tersebar, dan ada yang masuk ke dalam luka. Maka kemungkinan masuknya satu virus HIV ke dalam tubuh manusia tadi adalah sangat tidak mungkin. Mungkin dibutuhkan 10 juta nyamuk.

3. Nyamuk bukanlah Jarum Suntik Terbang
Banyak orang beranggapan bahwa nyamuk yang kecil itu sebagai jarum suntik yang terbang. Jika sebuah jarum suntik dapat menularkan HIV dari satu orang ke orang lainnya maka kemungkinan nyamuk pun juga dapat melakukkan hal yang sama. Pada penjelasan di atas telah dibahas bahwa dibutuhkan paling tidak 10 juta nyamuk agar 1 ekor virus HIV dapat masuk dalam tubuh kita. Walaupun ada penderita AIDS yang memiliki tingkat sirkulasi HIV yang sangat tinggi dalam darahnya, maka penyebaran AIDS melalui jarum yang dimiliki nyamuk tetap tidak mungkin. Mengapa ? Karena cara kerja jarum suntik yang dimiliki nyamuk berbeda dengan jarum suntik yang dipakai oleh orang. Jarum suntik biasa hanya memiliki satu jalur, sedangkan pada nyamuk memiliki dua jalur. Banyak orang yang mengetahui bahwa nyamuk mengeluarkan air liur sebelum mereka menghisap darah dari korbannya, namun perlu diketahui bahwa saluran makanan dan saluran air liur tidak menjadi satu alias terpisah. Satu saluran dipakai untuk menghisap darah dan satu saluran dipakai untuk mengeluarkan air liur dan saluran ini tidak pernah tercampur. Semua saluran hanya bersifat satu arah. Dengan demikian nyamuk bukanlah jarum suntik terbang, dan air liur yang dikeluarkan oleh nyamuk ke dalam tubuhmu tidak dikeluarkan dari darah yang tela dihisap sebelumnya.

Sumber asli dari Why Mosquitoes Cannot Transmit AIDS
by Wayne J. Crans, Associate Research Professor in Entomology
http://blogs.zymanq.com/nyamuk-tidak-menularkan-aids.htm

Rabu, 16 Maret 2011

BONGKAR DUGAAN KORUPSI DI DINKES SUMUT

BONGKAR DUGAAN KORUPSI
DI DINKES SUMUT

Sabtu, 08 Januari 2011

pos metro medan


Ada yang baca harian Analisa atau Pos Metro Medan sekitar tanggal 31 Agustus 2010 yang lalu? Di harian Pos Metro Medan menuliskan dengan judul “6 Cewek Disuntik HIV”. Ceritanya bermula adanya laporan Sa(25) dan Ir (28) kepada pihak kepolisan di Polresta Medan. Sa dan Ir serta 4 orang rekan kerja mereka mengalami peristiwa penusukan dengan memakai jarum suntik sekitar 23 juni 2010 dibagian bokong mereka. Peristiwanya terjadi ditengah diperjalanan ketika mereka sedang menuju tempat kerja mereka . Semua korban merupakan orang yang bekerja pada tempat yang sama yaitu di gedung Bank Sumut Medan. Karena khawatir orang yang menusukkan jarum suntik itu ingin menularkan HIV akhirnya setelah 2 bulan berlalu mereka memeriksakan diri untuk tes HIV, dan hasilnya negative. Saat ini kepolisian sedang melakukan penyelidikan untuk mengusut kasus tersebut yang motifnya diduga adalah adanya peyebatan virus HIV yang dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Peristiwa ini juga pernah terjadi sekitar setahun yang lalu dimana isyu santer menyebutkan sejumlah kursi penonton disejumlah bioskop di Medan telah dipasangi jarum suntik yang sudah terinveksi HIV-ADS, tapi sampai saat ini tidak ada saaupun korban yang melaporkan ke polisi. Bahkan dibeberapa radio di kota Medan mengangkat topic ini menjadi diskusi yang cukup hangat. Sewaktu saya menjadi narasumber dalam dialog interaktif disalah satu radio swasta di Medan ada seorang penelepon mengatakan bahwa adik temannya telah tertusuk jarum suntik ketika sedang menonton di bioskop. Tapi setalah saya beritahu alamat dan no tlp saya orang tersebut sampai saat ini juga belum pernah menghubungi saya. Jadi Waktu itu beritanya hanya menyebutkan katanya-katanya dan katanya.
Melihat cerita-cerita ini saya menjadi prihatin, mengapa yang selalu disalahkan selalu orang dengan HIV. Padahal belum ada bukti apapun, orang-orang sudah menuduh bahwa ini penyebaran HIV. Bagaimana dengan kemungkinan perampokan dengan pembiusan, bukannya sekarang juga banyak perampok yang menggunakan obat bius ketika melakukan aksinya.
Saya melihat masih tingginya stigmatisasi terhadap ODHA atau mungkinkah adanya upaya kriminalisasi terhadap ODHA? Pihak kepolisian juga kecolongan dalam menangani kasus ini, mengapa dugaannya selalu mengarah kepada penularan HIV, bukannya mengarah kepada tindakan criminal yang dilakukan oleh perampok dengan modus pembiusan. Atau ada motif lain yang perlu penyelidikan lebih jauh, mengingat semua korban adalah orang-orang dari satu perusahaan yang sama.
Peran Media juga sama kacaunya dalam pemberitaan, mereka membuat judul berita seolah-olah benar bahwa korban memang disuntik dengan virus HIV, padahal tidak seperti itu kebenarannya .
Kerja kita masih berat kawan, ayo rapatkan barisan…

Chandra

MENELAAH PROGRAM LJSS BERBASIS PUSKESMAS DI SUMUT
Dalam pertemuan Pengguna Narkoba Suntik bersama Dir Narkoba Polda Sumut yang diselenggarakan oleh KPA sumut pada tanggal 23 September 2010 di Medan mengangkat persoalan rendahnya penasun mengases Layanan Jarum Suntik Steril (LJSS) di puskesmas. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan yang didanai oleh GF-ATM R8. Dalam pertemuan ini diikuti oleh PKBI, Pikir, Galatea, Cordia dan perwakilan penasun dari Kota Medan 10 orang, perwakilan penasun dari Kabupaten Deliserdang 10 orang dan perwakilan penasun dari Kabupaten Simalungun 10 orang. Ketika ada pertanyaan pernahkan penasun mengambil jarum suntik baru dipuskesmas? Semua perwakilan penasun dari Medan menjawab tidak ada yang pernah, Deli serdang juga tidak ada yang pernah dan Simalungun kalau tidak salah ada 2 atau 3 orang yang pernah mengakses jarum suntik di puskesmas.

Masalah yang dikemukakan dalam undangan kegiatan ini menyebutkan salah satu alasan penasun enggan mengambil jarum suntik dari puskesmas krn penasun takut ditangkap polisi jika mengambil jarum suntik di puskesmas, tapi sayangnya penasun yang hadir lebih banyak bertanya tentang aspek hukum dari penggunaan narkoba. Bukan hambatan dalam mengakses layanan jarum suntik steril.

Tapi saya coba menjelaskan kepada kawan-kawan pecandu sebenarnya untuk di Medan sudah tidak ada lagi hambatan penasun untuk akses jarum suntik. Karena kepolisian di Medan sudah sangat mendukung untuk program Harm Reduction. Jadi kalau ada penasun membawa jarum suntik baik baru ataupun bekas tidak akan menjadi masalah lagi (tidak akan ditangkap polisi)

Saat ini kepolisian di Medan sudah menerbitkan surat dukungan untuk program HR sejak tahun 2004 dan pada tahun 2009 Poltabes Medan juga sudah menerbitkan surat izin No: B/6027/IX/2009/Tabes MS yang ditandatangani oleh Kapoltabes Medan Komber Drs. Imam Margono untuk penempatan logo Poltabes Medan dalam Stiker yang berbunyi “MEMBAWA JARUM SUNTIK BUKAN PELANGGARAN HUKUM” Artinya setelah dikeluarkannya izin untuk penempatan logo Poltabes Medan, maka hal-hal yang terkait dengan membawa, memiliki, menyimpan jarum suntik tidak akan menjadi masalah jika ada penggerebekan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap penasun.

Ini terjadi di Medan, bagaimana di kabupaten lain?

Jadi mengapa penasun masih enggan untuk datang ke puskesmas untuk akses jarum suntik , jika tidak ada hambatan dari kepolisian? Atau ada alasan lain ?

Dari hasil laporan survey cepat prilaku penasun di Kota Medan yang dilakukan oleh KPA Sumut pada bulan Juni 2010, yang melibatkan sekitar 210 penasun yang ada di Kota Medan, menunjukkan hasil tidak ada satupun penasun yang mengakses LJSS di Puskesmas. Jadi dalam survey tersebut ketika responden ditanya Dimana responden biasa mendapatkan jarum dan alat suntik steril (baru) dalam sebulan terakhir, 98 responden (46,66%) di LSM (LJASS) , 56 responden (26,66%) di klinik/ dokter praktek, 41 responden (19,52%) di apotik, 20 responden (9,52%) ke sesama penasun, dari 14 responden 6,66%) yang mendapat jarum dan alat suntik (baru) dari tempat lainnya yaitu membeli dari satelit . Namun 8 Responden (3,80%) tidak mendapat jarum dan alat suntik steril (baru) dalam sebulan terakhir.

Padahal ketika proses survey ini dilakukan program LJSS di puskesmas sudah berjalan sekitar 7 bulan. Tapi anehnya tidak ada satupun penasun yang mengakses LJSS dari puskesmas.

Untuk menjawab pertanyaan mengapa penasun enggan untuk mengakses LJSS di Puskesmas, Galatea melakukan survey kecil kepada para penasun yang ada di Medan pada tanggal 24 dan 27 September 2010 di 4 lokasi tongkrongan penasun.

Dari 89 responden yang ditanya menyebutkan bahwa hanya 6 orang (6,7%) yang pernah mengakses jarum suntik ke puskesmas. Sedangkan 83 orang (93,3%) tidak pernah akses jarum ke puskesmas. Ketika ditanya alasan mengapa tidak akses jarum ke puskesmas 28,1 % menyebutkan tidak tahu kalau di puskesmas ada program LJSS, 21,3% menyebutkan letak puskesmas terlalu jauh dari komunitas, 39,3% menyebutkan masih adanya LJSS yang dilakukan LSM di komunitas dan hanya 7,8% yang menyebutkan takut untuk datang ke puskesmas.

Jadi sebenarnya alasan terbesar penasun enggan datang ke puskesmas bukan karena takut , tapi karena masih adanya program LJSS yang dilakukan oleh LSM di komunitas. Tapi ketika ditanya seandainya program LJSS yang dilakukan oleh LSM berhenti, apa yang mereka lakukan untuk mendapatkan jarum suntik? Tetap saja puskesmas tidak menjadi pilihan. 75,2% lebih memilih beli jarum suntik di Apotik dan hanya 19,1% yang memilih untuk mengambil jarum suntik di puskesmas. 5,6% memilih untuk pakai jarum bekas.

Jika kondisi ini yang terjadi, lantas bagaimana solusinya. Sepertinya Program LJSS di puskesmas yang dikembangkan melalui program GF ATM R8 sudah berjalan hampir satu tahun, tapi kalau tidak dimanfaatkan dengan maksimal apa yang harus kita lakukan kedepan? Ini menjadi PR bagi para pengelola project GF-ATM. Kalau tidak segera melakukan evaluasi dan perbaikan strategi kemungkinan program LJSS di puskesmas ini akan mubazir dan sia-sia saja.

Semoga tulisan ini bisa menjadi masukan bagi para pengelola program HR melalui project GF-ATM di Sumut.

Mohon maaf atas segala kekurangan.

Salam

chandra

SOCIAL WATCH


Social Watch Indonesia
M. Firdaus (ASPPUK)
Wahyu Susilo (INFID)
Nani Zulminarni (PEKKA)

The global financial crisis has placed an additional burden on Indonesia, which was already facing problems such as a large foreign debt, corruption and macroeconomic policies that have failed to take concrete action towards poverty elimination. The severest effects have been felt by workers, since companies lay off their employees as a first option to save their assets. Civil society insists that the Government must take strategic steps to integrate poverty elimination into the national budget.
Although Indonesia performed better than its neighbours during the global recession, the country is still suffering from the impacts of the financial crisis that shook the world economy in the middle of 2008. Also, despite the fact that the Central Bank estimated growth of 5.6% for 2010 and as much as 6.5% for 2011, the announcement of several policy decisions seem to reflect the Government’s anxiety. These decisions, aimed at giving some security to economic actors and investors, failed to have this impact and instead created uncertainty regarding the national economy.
One reason that the country outperformed its neighbours is that it is less reliant on exports. Nevertheless, many sectors – such as rubber and palm plantations, the wood and furniture industries, mining, manufacturing (especially textiles and garments), the automotive industry, electronics and crafts – were severely hit. The SMERU Research Institute, which registered the different levels of impact in 2009, has noted that the crisis hit the hardest among people with the lowest income.[1] Instability in the labour market led to a reduction in wage levels and an increase in informal jobs. Women have suffered more than men from income declines or job losses – for instance, many women have already lost their employment in the handicraft and furniture industries in Lombok Barat and Jepara. Things could become much worse if the garment industry collapses since most its workers are women.[2]
An additional obstacle to poverty elimination
Before the global crisis hit the Government had increased its poverty elimination budget from Rp 51 trillion (USD 5.5 billion) in 2007 to Rp 58 trillion (USD 6.3 billion) in 2009.[3] Unfortunately, the level of results does not match the size of the budget: poverty was reduced by less than 2%.
The percentage of people living below the poverty line (out of the total of some 230 million inhabitants) has been fluctuating: 15.97% in 2005, 17.75% in 2006, 16.58% in 2007, 15% in 2008 and 14.5% in 2009.[4]
The Government goals for reducing the poverty rate were 9.5% in 2005, 8.9% in 2006, 7.9% in 2007 and 6.6% in 2008.[5] The initial goal of 8.2% in 2009 was subsequently adjusted to 12%-14% but the real poverty rate was still higher.[6] Poverty elimination programs in many government institutions at the national and local level will not be able to resolve the problem of poverty without bureaucratic reform and more political will.

At the same time, the effects of the global crisis make the reduction of poverty more difficult since Indonesia is facing such problems as a large foreign debt, corruption and a lack of consistency between macroeconomic policy on the one hand, and concrete actions to reduce poverty on the other. In August 2009, Bank Indonesia reported that the country’s foreign debt had reached USD 165 billion.[7] Budget statistics issued by the Ministry of Finance show that the budget for foreign debt payments is bigger than the budget for the education or health sectors: USD 10.4 billion was allocated for foreign debt payment and interest in 2009 while only USD 9 million was allocated for education and USD 1.7 million for health.[8]
Impact on workers
A number of recent controversies regarding Government favouritism are reminders that in times of crisis it is the workers rather than the powerful who pay the costs. The corporations insist in laying off their workers in order to save their assets, with the support of the Government’s policy.[9] In addition to 250,000 jobs lost since September 2008, the International Labor Organization predicted that 170,000 Indonesian workers were laid off in 2009 as a result of the global financial crisis. The unemployment rate in Indonesia last year was estimated to be more than 8% and rising.[10]
For example, special treatment was given to Bumi Resources, the largest mining company in Indonesia, when the company’s share price fell dramatically and many voices in the Government insisted on stepping in to save it. Its major shareholder is PT Bakrie & Brothers Tbk, a corporation chaired by Aburizal Bakrie, who is also the chairman of the Golkar party (part of the ruling coalition).
The financial crisis is also a threat to Indonesian migrant workers since it has caused their countries of residence to employ more local workers. The Indonesian Labor Union Confederation warned that some 300,000 migrant workers were expected to return to Indonesia by the end of 2009 after being laid-off in host countries such as South Korea and Malaysia.[11]
The Government wrongly expected that remittances sent from abroad by migrant workers would provide an alternative source of revenue during the crisis. Some analysts and policy makers even argued that the Government should seek to increase the number of those earning overseas so that remittances could help reduce volatility in the Indonesian rupiah.[12] Indonesia expected remittances from its overseas workers to rise to around USD 10 billion in 2010.[13]
The MDGs in Indonesia
Recently, the National Development Planning Institute recognized that Indonesia would not achieve the Millennium Development Goals (MDGs) by 2015, especially those related to maternal mortality rates, HIV and the environment.[14] According to UNDP – Indonesia:[15]
More than 35 million people or 15.4% of the population live below the national poverty line.
The proportion of the population with sustainable access to clean water and sanitation has not increased significantly.
More than 30% of people in urban areas and 50% in rural areas do not have access to piped drinking water.
Indonesia’s maternal mortality rate of 307 per 100,000 remains one of the highest in Southeast Asia.
HIV and AIDS infections are accelerating sharply across the country, with Papua and high-risk urban areas of particular concern.
Approximately 95% of children enrol in primary school but only 81% continue to secondary school.
Between 1997 and 2000 Indonesia lost 3.5 million hectares of forest annually.
Tackling poverty: more efforts needed

Besides the increase in budgeting and fiscal stimulus, the Government has taken some steps in order to reduce poverty including Law 40 2004 regarding the National Social Security System.[16] This law aims to provide social security for all citizens, not just those who are registered as poor in the National Statistics Office. It establishes five national social security programs covering health insurance, work accident insurance, old age pensions, pension insurance and life insurance. The law calls for a mechanism to be set up to collect funds from compulsory contributions to ensure that all citizens are able to provide for their minimum basic life needs, including access to health care. However, the Government has only applied one regulation, concerning the procedures and organization of the Social Insurance Committee, while other important aspects – such as establishing the Social Insurance Administration Office to implement the law – were ignored. Thus, the old insurance system is still working as usual.
Poverty has been reduced very slowly and without leading to improvements in human development in 2009 and 2010. In the 2009 UNDP Human Development Report,[17] Indonesia is considered a country with several problems and a decreasing quality of life for its population. Its ranking in the Human Development Index has slipped from 107 in 2005 to 111 in 2009, worse than the Philippines (105) and Palestine (110).
The Government must take strategic steps to tackle this situation. First, it must integrate poverty elimination into the national budget, supporting the efforts of civil society organizations and avoiding overlapping and ineffective programs. Second, Government reforms must include the eradication of corruption and the establishment of good governance. The existence of a strategic plan for debt reduction and efforts to avoid new indebtedness are fundamental to facilitating sustainable development.
[1] SMERU, “Monitoring the Socioeconomic Impact of the Global Financial Crisis in Indonesia.” Available from: .
[2] Ibid.
[3] Dian Kuswandini, “Fixing poverty: In numbers we trust?”, The Jakarta Post, 27 December 2008.
[4] National Development Planning Institute, Indonesia MDGs Report 2009, Jakarta.
[5] Tempo, 26 October 2008.
[6] Dian Kuswandini, op. cit.
[7] Wahyu Susilo, “5 years to Millennium Development Goals deadline”, GCAP-SENCA, 29 October 2009. Available from: .
[8] Ibid.
[9] Ames Gross and Andrew Connor, “Indonesia in the Global Financial Crisis: What HR Managers Need to Know”, Pacific Bridge, March 2009. Available from: .
[10] Ibid.
[11] Hera Diani, “Future Looks Bleak for Laid-Off Indonesian Workers”, The Irrawaddy, 19 November 2009. Available from: .
[12] Reuters, “Indonesian Migrant Workers Expected to Send More Money Home in 2010,” The Jakarta Globe, 30 October 2009.
[13] Ibid.
[14] “RI to miss MDGs target”, The Jakarta Post, 20 April 2010.
[15] See: .
[16] Available from: .
[17] UNDP, Human Development Report, New York, 2009. Available from: .
Terjemahan versi Google

Sosial Watch Indonesia
M. Firdaus (ASPPUK)
Wahyu Susilo (INFID)
Nani Zulminarni (PEKKA)

Krisis keuangan global telah menempatkan beban tambahan di Indonesia, yang sudah menghadapi masalah seperti utang luar negeri yang besar, korupsi dan kebijakan ekonomi makro yang telah gagal untuk mengambil tindakan konkrit terhadap penghapusan kemiskinan. Efek terberat telah dirasakan oleh pekerja, karena perusahaan memecat karyawan mereka sebagai pilihan pertama untuk menyelamatkan aset mereka. masyarakat sipil menegaskan bahwa Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis untuk mengintegrasikan penghapusan kemiskinan ke dalam anggaran nasional.


Walaupun Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara tetangganya selama resesi global, negara ini masih menderita dampak krisis keuangan yang mengguncang perekonomian dunia pada pertengahan tahun 2008. Juga, meskipun fakta bahwa Bank Sentral diperkirakan pertumbuhan 5,6% untuk tahun 2010 dan sebanyak 6,5% untuk tahun 2011, pengumuman keputusan beberapa kebijakan tampaknya mencerminkan kecemasan Pemerintah. Keputusan ini, ditujukan untuk memberikan keamanan beberapa dengan pelaku ekonomi dan investor, gagal memiliki dampak ini dan bukannya menciptakan ketidakpastian mengenai ekonomi nasional.

Salah satu alasan bahwa negara itu mengungguli tetangganya adalah bahwa hal itu kurang bergantung pada ekspor. Namun demikian, banyak sektor - seperti industri karet dan kelapa sawit, kayu dan furnitur, pertambangan, industri (terutama tekstil dan garmen), industri otomotif, elektronik dan kerajinan - yang sangat memukul. Lembaga Penelitian SMERU, yang terdaftar di berbagai tingkat dampak pada 2009, telah mencatat bahwa krisis ini memukul paling keras di antara orang-orang dengan pendapatan terendah. [1] Instabilitas di pasar tenaga kerja menyebabkan penurunan tingkat upah dan peningkatan informal pekerjaan. Perempuan telah menderita lebih dari orang dari penurunan pendapatan atau kerugian pekerjaan - misalnya, banyak wanita telah kehilangan pekerjaan mereka di industri kerajinan tangan dan furnitur di Lombok Barat dan Jepara. Hal-hal bisa menjadi lebih buruk jika industri garmen runtuh karena pekerja yang paling adalah perempuan. [2]

Hambatan tambahan untuk penghapusan kemiskinan

Sebelum krisis global memukul Pemerintah telah meningkatkan anggaran penghapusan kemiskinan dari Rp 51 triliun (USD 5,5 miliar) pada tahun 2007 menjadi Rp 58 triliun (USD 6,3 miliar) pada tahun 2009 [3.] Sayangnya, tingkat hasil yang tidak sesuai ukuran anggaran: kemiskinan berkurang dengan kurang dari 2%.

Persentase orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (dari total sekitar 230 juta jiwa) telah berfluktuasi: 15,97% pada tahun 2005, 17,75% di tahun 2006, 16,58% di tahun 2007, 15% di tahun 2008 dan 14,5% pada tahun 2009. [ 4]

tujuan Pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan adalah 9,5% pada tahun 2005, 8,9% pada tahun 2006, 7,9% pada tahun 2007 dan 6,6% pada tahun 2008. [5] Tujuan awal 8,2% pada tahun 2009 selanjutnya disesuaikan sampai 12% -14%, tetapi tingkat kemiskinan yang sebenarnya masih lebih tinggi. [6] program eliminasi Kemiskinan di banyak lembaga pemerintah di tingkat nasional dan lokal tidak akan dapat menyelesaikan masalah kemiskinan tanpa reformasi birokrasi dan lebih banyak kemauan politik.

Pada saat yang sama, efek dari krisis global membuat pengurangan kemiskinan lebih sulit karena Indonesia menghadapi masalah seperti utang luar negeri yang besar, korupsi dan kurangnya konsistensi antara kebijakan makroekonomi di satu sisi, dan beton tindakan untuk mengurangi kemiskinan di sisi lain. Pada bulan Agustus 2009, Bank Indonesia melaporkan bahwa utang luar negeri negara telah mencapai Rp 165.000.000.000 [7.] Statistik Anggaran yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan menunjukkan bahwa anggaran untuk pembayaran utang luar negeri lebih besar daripada anggaran untuk pendidikan atau sektor kesehatan: Rp 10400000000 dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri dan bunga pada tahun 2009 sementara hanya USD 9 juta dialokasikan untuk pendidikan dan USD 1,7 juta untuk kesehatan. [8]

Dampak terhadap pekerja

Sejumlah kontroversi baru-baru ini tentang favoritisme Pemerintah pengingat bahwa pada saat krisis itu adalah pekerja bukan kuat yang membayar biaya. Perusahaan bersikeras dalam pemutusan hubungan kerja mereka dalam rangka untuk menyelamatkan aset mereka, dengan dukungan kebijakan pemerintah. [9] Selain 250,000 pekerjaan yang hilang sejak September 2008, Organisasi Buruh Internasional memperkirakan bahwa 170.000 pekerja Indonesia telah diberhentikan pada tahun 2009 sebagai akibat dari krisis keuangan global. Tingkat pengangguran di Indonesia tahun lalu diperkirakan lebih dari 8% dan meningkat. [10]

Misalnya, perlakuan khusus diberikan kepada Bumi Resources, perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia, ketika harga saham perusahaan jatuh secara dramatis dan banyak suara di Pemerintah berkeras melangkah untuk menyimpannya. pemegang saham utama adalah PT Bakrie & Brothers Tbk sebuah perusahaan dipimpin oleh Aburizal Bakrie, yang juga ketua umum Partai Golkar (bagian dari koalisi yang berkuasa).

Krisis keuangan juga merupakan ancaman bagi pekerja migran Indonesia sejak itu telah menyebabkan negara mereka tinggal untuk mempekerjakan pekerja yang lebih lokal. Tenaga Kerja Indonesia Konfederasi Serikat memperingatkan bahwa sekitar 300.000 pekerja migran yang diharapkan kembali ke Indonesia pada akhir tahun 2009 setelah di-PHK di negara tuan rumah seperti Korea Selatan dan Malaysia. [11]

Pemerintah diharapkan salah pengiriman uang yang dikirim dari luar negeri oleh para pekerja migran akan menyediakan sumber pendapatan alternatif selama krisis. Beberapa pengamat dan pembuat kebijakan bahkan berpendapat bahwa Pemerintah harus berupaya meningkatkan jumlah penghasilan yang luar negeri, sehingga pengiriman uang dapat membantu mengurangi volatilitas dalam rupiah Indonesia [12] Indonesia. Diharapkan pengiriman uang dari pekerja di luar negeri meningkat menjadi sekitar USD 10 miliar di 2010 [13.]

MDGs di Indonesia

Baru-baru ini, Perencanaan Pembangunan Nasional Institut diakui bahwa Indonesia tidak akan mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) pada tahun 2015, terutama yang berkaitan dengan tingkat kematian ibu, HIV dan lingkungan. [14] Menurut UNDP - Indonesia: [15]

Lebih dari 35 juta orang atau 15,4% dari penduduk hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
Proporsi penduduk dengan akses berkelanjutan terhadap air bersih dan sanitasi tidak meningkat secara signifikan.
Lebih dari 30% orang di daerah perkotaan dan 50% di daerah pedesaan tidak memiliki akses ke air minum PAM.
kematian ibu di Indonesia tingkat 307 per 100.000 masih salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Infeksi HIV dan AIDS mempercepat tajam di seluruh negeri, dengan Papua dan daerah perkotaan berisiko tinggi perhatian khusus.
Sekitar 95% anak-anak mendaftar di sekolah dasar, tetapi hanya 81% melanjutkan ke sekolah menengah.
Antara tahun 1997 dan 2000 Indonesia kehilangan 3.500.000 hektar hutan setiap tahunnya.
Menangani kemiskinan: upaya lebih dibutuhkan

Selain peningkatan anggaran dan stimulus fiskal, Pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk mengurangi kemiskinan termasuk UU 40 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional [16] Hukum ini. Bertujuan untuk memberikan jaminan sosial bagi seluruh warga negara, bukan hanya mereka yang terdaftar sebagai penduduk miskin di Kantor Statistik Nasional. Ini menetapkan lima program jaminan sosial nasional yang meliputi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, pensiun hari tua, asuransi pensiun dan asuransi jiwa. Hukum panggilan untuk mekanisme yang akan dibentuk untuk mengumpulkan dana dari sumbangan wajib untuk memastikan bahwa semua warga negara mampu memenuhi kebutuhan minimum mereka hidup dasar, termasuk akses ke pelayanan kesehatan. Namun, Pemerintah telah hanya berlaku satu peraturan, mengenai prosedur dan organisasi Komite Asuransi Sosial, sedangkan aspek-aspek penting lainnya - seperti pembentukan Kantor Asuransi Sosial Administrasi untuk melaksanakan hukum - diabaikan. Jadi, sistem asuransi lama masih bekerja seperti biasa.

Kemiskinan telah berkurang sangat lambat dan tanpa mengarah pada perbaikan dalam pembangunan manusia pada tahun 2009 dan 2010. Dalam Human Development Report UNDP 2009, [17] Indonesia merupakan negara dengan beberapa masalah dan penurunan kualitas hidup penduduknya. Its dalam peringkat Indeks Pembangunan Manusia telah merosot dari 107 pada tahun 2005-111 tahun 2009, lebih buruk daripada Filipina (105) dan Palestina (110).

Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis dalam mengatasi situasi ini. Pertama, penghapusan kemiskinan harus diintegrasikan ke dalam anggaran nasional, mendukung upaya dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan menghindari tumpang tindih dan program tidak efektif. Kedua, reformasi pemerintah harus mencakup pemberantasan korupsi dan pembentukan pemerintahan yang baik. Keberadaan sebuah rencana strategis untuk pengurangan utang dan upaya untuk menghindari hutang baru yang mendasar untuk memfasilitasi pembangunan berkelanjutan.

[1] SMERU, "Monitoring Dampak Sosial Ekonomi dari Krisis Keuangan Global di Indonesia" Tersedia dari.: .
[2] Ibid.

[3] Dian Kuswandini, "Memperbaiki kemiskinan: Dalam angka kita percaya?", The Jakarta Post, 27 Desember 2008.

[4] Pembangunan Institut Perencanaan Nasional, Indonesia Laporan MDGs 2009, Jakarta.

[5] Tempo, 26 Oktober 2008.

[6] Dian Kuswandini, op. cit.

[7] Wahyu Susilo, "5 tahun untuk Tujuan Pembangunan Milenium Batas Waktu", GCAP-SENCA, 29 Oktober 2009. Tersedia dari: .

[8] Ibid.

[9] Ames Bruto dan Connor Andrew, "Indonesia dalam Krisis Keuangan Global: Apa Manajer SDM Harus Tahu", Jembatan Pasifik, Maret 2009. Tersedia dari: .

[10] Ibid.

[11] Hera Diani, "Tampaknya Memburuknya Masa Depan untuk Laid-Off Pekerja Indonesia", Irrawaddy itu, 19 November 2009. Tersedia dari: .

[12] Reuters, "Tenaga Kerja Indonesia yang diharapkan untuk Kirim Uang Lebih Utama pada tahun 2010," The Jakarta Globe, 30 Oktober 2009.

[13] Ibid.

[14] "RI untuk kehilangan target MDGs", The Jakarta Post, 20 April 2010.

[15] Lihat: .

[16 Tersedia dari]: .

[17] UNDP, Laporan Pembangunan Manusia, New York, 2009. Tersedia dari: .