MENELAAH PROGRAM LJSS BERBASIS PUSKESMAS DI SUMUT
Dalam pertemuan Pengguna Narkoba Suntik bersama Dir Narkoba Polda Sumut yang diselenggarakan oleh KPA sumut pada tanggal 23 September 2010 di Medan mengangkat persoalan rendahnya penasun mengases Layanan Jarum Suntik Steril (LJSS) di puskesmas. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan yang didanai oleh GF-ATM R8. Dalam pertemuan ini diikuti oleh PKBI, Pikir, Galatea, Cordia dan perwakilan penasun dari Kota Medan 10 orang, perwakilan penasun dari Kabupaten Deliserdang 10 orang dan perwakilan penasun dari Kabupaten Simalungun 10 orang. Ketika ada pertanyaan pernahkan penasun mengambil jarum suntik baru dipuskesmas? Semua perwakilan penasun dari Medan menjawab tidak ada yang pernah, Deli serdang juga tidak ada yang pernah dan Simalungun kalau tidak salah ada 2 atau 3 orang yang pernah mengakses jarum suntik di puskesmas.
Masalah yang dikemukakan dalam undangan kegiatan ini menyebutkan salah satu alasan penasun enggan mengambil jarum suntik dari puskesmas krn penasun takut ditangkap polisi jika mengambil jarum suntik di puskesmas, tapi sayangnya penasun yang hadir lebih banyak bertanya tentang aspek hukum dari penggunaan narkoba. Bukan hambatan dalam mengakses layanan jarum suntik steril.
Tapi saya coba menjelaskan kepada kawan-kawan pecandu sebenarnya untuk di Medan sudah tidak ada lagi hambatan penasun untuk akses jarum suntik. Karena kepolisian di Medan sudah sangat mendukung untuk program Harm Reduction. Jadi kalau ada penasun membawa jarum suntik baik baru ataupun bekas tidak akan menjadi masalah lagi (tidak akan ditangkap polisi)
Saat ini kepolisian di Medan sudah menerbitkan surat dukungan untuk program HR sejak tahun 2004 dan pada tahun 2009 Poltabes Medan juga sudah menerbitkan surat izin No: B/6027/IX/2009/Tabes MS yang ditandatangani oleh Kapoltabes Medan Komber Drs. Imam Margono untuk penempatan logo Poltabes Medan dalam Stiker yang berbunyi “MEMBAWA JARUM SUNTIK BUKAN PELANGGARAN HUKUM” Artinya setelah dikeluarkannya izin untuk penempatan logo Poltabes Medan, maka hal-hal yang terkait dengan membawa, memiliki, menyimpan jarum suntik tidak akan menjadi masalah jika ada penggerebekan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap penasun.
Ini terjadi di Medan, bagaimana di kabupaten lain?
Jadi mengapa penasun masih enggan untuk datang ke puskesmas untuk akses jarum suntik , jika tidak ada hambatan dari kepolisian? Atau ada alasan lain ?
Dari hasil laporan survey cepat prilaku penasun di Kota Medan yang dilakukan oleh KPA Sumut pada bulan Juni 2010, yang melibatkan sekitar 210 penasun yang ada di Kota Medan, menunjukkan hasil tidak ada satupun penasun yang mengakses LJSS di Puskesmas. Jadi dalam survey tersebut ketika responden ditanya Dimana responden biasa mendapatkan jarum dan alat suntik steril (baru) dalam sebulan terakhir, 98 responden (46,66%) di LSM (LJASS) , 56 responden (26,66%) di klinik/ dokter praktek, 41 responden (19,52%) di apotik, 20 responden (9,52%) ke sesama penasun, dari 14 responden 6,66%) yang mendapat jarum dan alat suntik (baru) dari tempat lainnya yaitu membeli dari satelit . Namun 8 Responden (3,80%) tidak mendapat jarum dan alat suntik steril (baru) dalam sebulan terakhir.
Padahal ketika proses survey ini dilakukan program LJSS di puskesmas sudah berjalan sekitar 7 bulan. Tapi anehnya tidak ada satupun penasun yang mengakses LJSS dari puskesmas.
Untuk menjawab pertanyaan mengapa penasun enggan untuk mengakses LJSS di Puskesmas, Galatea melakukan survey kecil kepada para penasun yang ada di Medan pada tanggal 24 dan 27 September 2010 di 4 lokasi tongkrongan penasun.
Dari 89 responden yang ditanya menyebutkan bahwa hanya 6 orang (6,7%) yang pernah mengakses jarum suntik ke puskesmas. Sedangkan 83 orang (93,3%) tidak pernah akses jarum ke puskesmas. Ketika ditanya alasan mengapa tidak akses jarum ke puskesmas 28,1 % menyebutkan tidak tahu kalau di puskesmas ada program LJSS, 21,3% menyebutkan letak puskesmas terlalu jauh dari komunitas, 39,3% menyebutkan masih adanya LJSS yang dilakukan LSM di komunitas dan hanya 7,8% yang menyebutkan takut untuk datang ke puskesmas.
Jadi sebenarnya alasan terbesar penasun enggan datang ke puskesmas bukan karena takut , tapi karena masih adanya program LJSS yang dilakukan oleh LSM di komunitas. Tapi ketika ditanya seandainya program LJSS yang dilakukan oleh LSM berhenti, apa yang mereka lakukan untuk mendapatkan jarum suntik? Tetap saja puskesmas tidak menjadi pilihan. 75,2% lebih memilih beli jarum suntik di Apotik dan hanya 19,1% yang memilih untuk mengambil jarum suntik di puskesmas. 5,6% memilih untuk pakai jarum bekas.
Jika kondisi ini yang terjadi, lantas bagaimana solusinya. Sepertinya Program LJSS di puskesmas yang dikembangkan melalui program GF ATM R8 sudah berjalan hampir satu tahun, tapi kalau tidak dimanfaatkan dengan maksimal apa yang harus kita lakukan kedepan? Ini menjadi PR bagi para pengelola project GF-ATM. Kalau tidak segera melakukan evaluasi dan perbaikan strategi kemungkinan program LJSS di puskesmas ini akan mubazir dan sia-sia saja.
Semoga tulisan ini bisa menjadi masukan bagi para pengelola program HR melalui project GF-ATM di Sumut.
Mohon maaf atas segala kekurangan.
Salam
chandra