Halaman

Sabtu, 04 Agustus 2012

SUM Program


Fact Sheet
Scaling up the HIV Response among Most-at Risk Populations (SUM)
[Program Peningkatan Cakupan Intervensi Efektif, Terpadu dan Berkelanjutan pada Kelompok paling berisiko tinggi terhadap penularan HIV, 2010 – 2015]

Kerjasama Program SUM  dengan Pemerintah dan Masyarakat Medan Dalam Upaya  Pengendalian Epidemi HIV

HIV-AIDS di Medan
Kasus HIV dan AIDS di Kota Medan terus mengalami peningkatan sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1992. Sampai dengan caturwulan pertama 2012 angka kumulatif kasus HIV dan AIDS mencapai 3090 kasus. Faktor risiko penularan terbesar masih melalui hubungan seksual, khususnya heteroseksual, kemudian penularan melalui penggunaan Narkoba suntik.

Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011 pada kelompok wanita pekerja seks tidak langsung (WPSTL), lelaki berisiko tinggi (LBT) dan pengguna Narkoba suntik (Penasun) menunjukkan prevalensi yang berbeda pada kelompok ini. Pada WPS, prevalensi HIV sebesar 3,2%. Angka ini memang lebih besar dibanding prevalensi pada kelompok laki-laki berisiko tinggi (pelaut di Belawan) yaitu 1,3%. Tetapi yang perlu dikhawatirkan adalah  adalah 61,8% diantara LBT yang menjadi responden STBP berstatus menikah. Hal ini meningkatkan risiko ibu rumah tangga untuk tertular HIV jika upaya program pencegahan dan penanggulangan HIV pada kelompok LBT tidak ditangani serius. Ini sudah terlihat dari data Dinkes Propinsi Sumatera Utara, di mana kasus  baru HIV pada ibu rumah tangga sepanjang tahun 2012 (Januari -  April 2012) mencapai 40 kasus, dan 5 bayi terlahir positif.
Pada kelompok Penasun prevalensi HIV mengalami penurunan dari 46% (STBP 2007) menjadi 39% pada STBP 2011. Ketersediaan akses dan kenyamanan dari aspek hukum untuk mengakses jarum steril berkontribusi dalam penurunan kasus HIV. Walaupun angka prevalensi HIV pada Penasun menunjukkan penurunan namun resiko penularan masih tetap tinggi karena masih berada pada kisaran 39%. Penularan bisa terjadi antara sesama Penasun maupun antara Penasun dengan pasangan seksualnya. Faktor risiko penularan lainnya adalah homoseksual dan transfusi darah.

Mempertimbangkan perkembangan program serta situasi epidemi HIV saat ini maka upaya untuk mempercepat peningkatan cakupan intervensi yang efektif dan terintegrasi pada kelompok risiko tinggi secara signifikan sangat dibutuhkan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sangat penting untuk memastikan para pengelola dan pelaksana program memiliki panduan serta pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk dapat melaksanakan intervensi secara efektif.

Scaling up the HIV Response among Most-at Risk Populations (SUM)
Program SUM (Scaling Up the HIV Response among Most-at-risk Populations) adalah bentuk dukungan dan kerjasama pemerintah Indonesia dan Amerika dalam upaya penanggulangan HIV di Indonesia yang berjalan mulai tahun 2010 sampai 2015.                          

Kerjasama pemerintah Indonesia dan Amerika sudah dimulai sejak tahun 1993 sampai tahun 2000 dengan HIV/AIDS Prevention Project (HAPP) sebagai elemen terbesar dari dukungan, dilanjutkan dengan program ASA I yang berlangsung pada tahun 2000–2005 dan Program ASA II pada tahun 2005–2010 yang dikelola oleh Family Health International (FHI) serta Health Policy Initiative (HPI) pada tahun 2006-2009 yang dikelola oleh Futures Group.

Program SUM dirancang untuk meningkatkan cakupan intervensi efektif, komprehensif, terintegrasi dan berkelanjutan dengan menyediakan dukungan kepada instansi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bekerja dalam program pengendalian HIV/AIDS. United States Agency for International Development (USAID) Indonesia mempercayakan pengelolaan dan pelaksanaan program kepada 2 kontraktor utama, yaitu Family Health International (FHI) dan Training Resources Group (TRG) bersama dengan Research Triangle Institute International (RTI International), Burnet Institute (BI) dan AIDS Project Management Group (APMG).

Mitra SUM
Program SUM dilaksanakan bekerja sama  dan berkoordinasi dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) Kementerian Kesehatan dan kementrian terkait, lembaga swadaya masyarakat penerima bantuan Global Funds serta mitra pembangunan internasional lainnya.  Di tingkat propinsi dan kota, Program SUM erat bekerja sama dengan KPA, Dinas Kesehatan, dinas terkait dan organisasi masyarakat sipil (OMS) lainnya. Secara khusus Program SUM mendukung 3 OMS yang menjalankan program pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS secara komprehensif pada kelompok paling berisiko tinggi di Kota Medan, yaitu Human Health Organization (H2O) pada WPS dan LBT, Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) pada kelompok Lelaki seks Lelaki (LSL) dan waria, serta Yayasan Galatea (YG) yang melakukan intervensi pada kelompok pengguna Narkoba suntik.

Apa Saja Yang Program SUM Lakukan?
Dalam pelaksanaanya, Program SUM mulai dengan tahap persiapan berupa penentuan lokasi (site) intervensi dan proses penjajakan kesiapan komunitas, dilanjutkan dengan pengembangan manual/panduan pelaksanaan intervensi serta penyediaan paket dukungan yang dibutuhkan kepada mitra kerja (OMS dan instansi pemerintah) untuk dapat menjalankan intervensi yang efektif, komprehensif, terintegrasi dan berkelanjutan pada kelompok risiko tinggi/most-at-risk populations (MARPs).

Di Sumatera Utara, tahap persiapan berupa penentuan lokasi sudah dilakukan dalam workshop pada bulan Februari 2012, dilanjutkan dengan penjajakan kesiapan komunitas pada bulan Maret 2012. Hasil penjajakan komunitas juga telah pula didesiminasikan di depan pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota dan propinsi. Hasilnya menunjukkan kesiapan Kota Medan untuk diintervensi. Hasil inilah yang menjadi dasar dalam mengembangkan intervensi yang efektif, komprehensif, terintegrasi dan berkelanjutan pada 5 kelompok populasi yang paling berisiko (WPS, LBT, LSL, waria dan Penasun) yang akan dijalankan oleh 3 OMS mitra SUM.

Dukungan Apa Yang Program SUM Berikan?

Program SUM akan berfokus pada:

1. Peningkatan kapasitas teknis dan kinerja organisasi yang dibutuhkan untuk menjalankan intervensi efektif, komprehensif, terintegrasi dan berkelanjutan yang dapat berdampak pada peningkatan pemanfaatan layanan dan perubahan perilaku kelompok risiko tinggi secara signifikan dan terukur.

2. Peningkatan kapasitas pengelolaan informasi strategis untuk merespon permasalahan HIV/AIDS pada kelompok risiko tinggi. Salah satu bentuk bantuan untuk aspek informasi strategis ini adalah Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku serta Monitoring dan Evaluasi.

3. Menyediakan dan memantau dukungan dana (small grants) yang akan diberikan kepada organisasi masyarakat sipil/LSM untuk mendorong perluasan intervensi efektif, terintegrasi dan berkelanjutan pada kelompok risiko tinggi di wilayah dimana terdapat populasi yang paling berisiko dalam jumlah besar dan tingkat penularan HIV yang tinggi.


Di Mana SUM Bekerja?
Untuk dapat memberikan dampak yang signifikan, Program SUM bekerja di sejumlah kota dan kabupaten yang berada di 6 propinsi prioritas dengan populasi kelompok paling berisiko tertinggi. Propinsi prioritas tersebut adalah: DKI Jakarta, Jawa Timur,  Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Papua dan Papua Barat. Di Sumatera Utara, Kota Medan menjadi kota prioritas pertama dijalankannya program.

Perwakilan Program SUM di Medan
Jln. Sei Batang Serangan No. 147 Medan, 20154
Telp/fax. 62 61 4531395






Kamis, 16 Juni 2011

HITUNG-HITUNGAN IDU DI MEDAN


AYO HITUNG-HITUNGAN JUMLAH IDU DI MEDAN

Berapa sebenarnya jumlah IDU di Medan? Pertanyaan ini agak sulit dijawab. Tergantung siapa yang akan menjawabnya, tapi fakta di lapangan akan bisa berkata dengan sebenarnya. Mengapa hitung-hitungan jumlah IDU menjadi penting, tidak lain untuk lebih memudahkan perencanaan intervensi lanjutan apa yang paling sesuai dengan IDU yang ada di Medan setelah mereka di jangkau. Untuk melihat jumlah IDU di Medan kita bisa melihat beberapa sumber diantaranya:

· Estimasi Nasional tahun 2006 memperkirakan ada sekitar 4539 IDU di Medan dan estimasi nasional pada tahun 2009 ada 1820 IDU di medan

· Yayasan Galatea melaporkan mendampingi 490 IDU pada tahun 2008, 429 pada tahun 2009 dan sampai akhir tahun 2010 hanya sekitar 336 IDU di medan.

· KPA Kota Medan, melalui penjangkauan SSR GFR8 melaporkan pada Januari 2011 ada 401 IDU dan 75 diantaranya merupakan IDU baru, sedangkan bulan Februari KPA Kota Medan melaporkan ada 511 IDU dan 52 diantaranya merupakan IDU baru.

· LSM yang bekerja untuk program Harm Reduction di Medan (Galatea, Pikir-PKPA, Jarkons dan Cordia) pada bulan Maret 2011 pernah melakukan hitung-hitungan jumlah IDU di Medan dan semua lembaga sepakat bahwa diperkirakan jumlah IDU di Medan sekitar 310 orang.dengan rincian :

o Lokasi AM : ± 120

o Lokasi N : ± 20

o Lokasi S : ± 15

o Lokasi H : ± 20

o Lokasi P : ± 10

o Lokasi K : ± 30

o Lain-lain : ± 35

o Lapas/Rutan : ± 60

Semua lembaga juga sepakat sudah sangat sulit untuk menemukan lokasi dan IDU baru. Lokasi-lokasi yang dijangkau sekarang merupakan lokasi yang sudah dijangkau lebih dari 5 tahun yang lalu, jadi tidak ada lokasi –lokasi komunitas IDU yang baru.

Jika melihat laporan dari KPA Kota Medan melalui penjangkauan yang dilakukan oleh SSR dan IU Project GFR8, justru ada peningkatan jumlah IDU yang dijangkau. Bahkan untuk kontak dengan IDU baru sangat tinggi angkanya yaitu 75 IDU baru pada Januari dan 52 IDU pada Februari 2011. Hal ini justru sangat berbeda dengan hasil perkiraan bersama yang dilakukan oleh beberapa LSM. Kita tidak tahu apakah angka ini hanya untuk menyenangkan lembaga Donor dalam pencapaian target IDU atau memang ada IDU sejumlah itu di Medan, Jika ada dimana mereka dijumpai?

Jika angka itu hanya untuk memuaskan Lembaga Donor, maka hal ini akan sangat membahayakan dalam perencanaan program penanggulangan AIDS kedepan. Misalnya saja dalam merencanakan kebutuhan Metadon, Layanan VCT, Kebutuhan ARV dan lain-lain. Bisa-bisa kebutuhan diatas kertas menjadi besar padahal tidak demikian kenyataan di lapangan.


Saatnya Mengevaluasi Program LJSS berbasis Puskesmas di Medan

Bagaimana nasib Layanan Jarum Suntik Steril (LJSS) di Puskesmas yang ada di Medan? Ini masih jadi pertanyaan sampai saat ini. Rasanya sudah setahun lebih program ini berjalan. Ide awal ketika menempatkan LJSS di Puskesmas memang baik, karena puskesmas sebagai institusi layanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat. Niat baik pemerintah untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat harus kita dukung, namun jika tidak dilakukan evaluasi dalam pelaksanaannya tentu saja akan menimbulkan pertanyaan buat kita semua.

Akhir tahun 2009 Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara telah menunjuk 2 puskesmas untuk melaksanakan LJSS di Kota Medan, namun bagaimana pelaksanaannya? Apakah pernah dievaluasi?

Dari data-data yang dikeluarkan oleh KPA Kota Medan, pada tahun 2011 kita bisa melihat seberapa efektifnya LJSS di puskesmas.

Bulan Januari 2011 jumlah jarum yang didistribusikan sebanyak 1106 pc, padahal IDU yang mengakses layanan ini sebanyak 227 orang. Artinya setiap IDU hanya mendapatkan jarum suntik rata-rata hanya 5 pc setiap bulannya. Bagaimana program LJSS bisa mencegah penularan HIV , Hep C dan penyakit lainnya jika distribusinya sangat kecil. Jika setiap IDU menyuntik hanya 1 kali saja setiap hari artinya IDU tersebut akan butuh 30pc jarum dalam sebulan. Lantas jika IDU hanya mendapatkan 5 pc salama 1 bulan bagaimana kebutuhan jarum mereka bisa terpenuhi? Ya mungkin mereka membeli atau mereka mendapatkan jarum steril dari LSM yang bekerja pd program HR, atau mereka pakai jarum bekas?

Tidak jauh berbeda kondisinya pada bulan Februari 2011, jarum steril yang didistribusikan hanya 1110 pc, padahal IDU yang mengakses sebanyak 363 orang. Artinya setiap IDU hanya mendapatkan jarum steril dari Puskesmas sebanyak 3 pc dalam sebulan. Jika begini keadaannya bisa dipastikan LJSS yang ada di Puskesmas tidak akan merubah situasi yang ada.

Segera Evaluasi LJSS di Puskesmas!

.

NYAMUK DAN AIDS


NYAMUK TIDAK MENULARKAN AIDS

Apakah nyamuk bisa menularkan aids?? bukankah nyamuk menghisap darah kita dan alat penghisapnya seperti jarum suntik yang dapat menularkan aids?? dari artikel dibawah ini dapat diketahui bahwa nyamuk bukanlah jarum suntik yang biasa kita gunakan.
Ada tiga teori mekanisme pengisapan darah oleh nyamuk yang biasa dijadikan alasan bahwa nyamuk dapat menularkan penyakit AIDS.


1. Pada teori pertama, seekor nyamuk memulai siklusnya dengan mengisap darah seorang pengidap HIV dan menelan virus tersebut bersama darah si penderita. Setelah kenyang, nyamuk ini kemudian pulang ke sarangnya, tanpa pindah ke korban selanjutnya. Virus yang terhisap ini masuk ke dalam tubuh, dan bertahan dalam tubuh nyamuk tersebut, virus kemudian berkembang biak dan setelah itu pindah ke dalam kalenjar air liur (salivary gland). Nyamuk yang terinfeksi HIV ini kemudian mencari korban selanjutnya untuk dihisap darahnya. Korban selanjutnya ini bisa saja seseorang yang bersih dari HIV, namun saat nyamuk menghisap darah orang ini virus HIV yang ada dalam kalenjar air liur nyamuk tersebut ikut masuk ke dalam tubuh orang tadi. Mekanisme yang pertama ini digunakan oleh sebagian besar parasit dalam nyamuk, seperti malaria, demam berdarah dan sejenisnya.

2. Pada teori kedua, seekor nyamuk memulai siklusnya dengan mengisap darah seorang pengidap HIV, namun belum kenyang mengisap ia sudah terbang karena terganggu. Daripada kembali ke korban yang pertama tadi, nyamuk memilih korban lain yang mungkin bebas dari AIDS. Setelah nyamuk tadi menusukkan mulutnya ke dalam kulit korbannya ini, nyamuk ini akan menularkan virus yang masih ada dalam mulutnya ke korbannya ini. Mekanisme ini termasuk mekanisme yang tidak lazim dalam infeksi parasit melalui nyamuk.

3. Teori ketiga mirip dengan teori kedua, dimana saat nyamuk mengisap darah korbannya yang mengidap HIV tiba-tiba ia diganggu dan kemudian terbang untuk mencari korban kedua. Namun dalam teori yang ketiga ini, tiba-tiba nyamuk tadi dipukul oleh si korban, dan kemudian darah nyamuk yang telah terkontaminasi HIV ini masuk ke dalam luka si korban tadi.
Masing-masing dari mekanisme ini telah diselidiki dan diteliti dengan menggunakan berbagai macam serangga pengisap darah, dan hasilnya secara jelas menunjukkan bahwa nyamuk tidak dapat menularkan AIDS.

Ada beberapa alasan kenapa nyamuk tidak dapat menularkan AIDS, yaitu :

1. Nyamuk mencerna virus yang menyebabkan AIDS
Ketika seekor nyamuk menularkan suatu penyakit dari satu orang ke orang yang lain, maka parasit tadi harus tetap hidup dalam tubuh nyamuk sampai nyamuk tadi selesai mengisap darah orang tersebut. Jika nyamuk mencerna parasit tersebut, maka siklus penularan ini akan terputus dan parasit tidak dapat ditularkan ke korban selanjutnya. Memang ada sejumlah cara yang dilakukan oleh parasit untuk menghindar agar tidak dicerna sebagai makanan. Ada sejumlah parasit yang memang memiliki ketahanan dari enzim pencerna yang ada dalam perut nyamuk, namun kebanyakan parasit-parasit ini menerobos jaringan dalam perut nyamuk agar terhindar dari enzim pencernaan nyamuk yang akan melumatnya sampai habis . Parasit malaria dapat bertahan selama 9-12 hari dalam tubuh nyamuk, yang mana dalam waktu itu parasit ini dapat berkembang menjadi bentuk yang lain. Penelitian terhadap virus HIV secara jelas menunjukkan bahwa virus yang bertanggung jawab terhadap infeksi HIV tersebut dianggap sebagai makanan dan dicerna bersama makanan yang berupa darah. Dalam 1-2 hari virus bersama makanan tadi telah habis dicerna oleh nyamuk, sehingga kemungkinan untuk terjadinya infeksi baru dapat dicegah. Karena virus tidak sempat bereproduksi dan tidak sempat pindah ke kalenjar saliva, maka penularan HIV melalui nyamuk merupakan hal yang tidak mungkin.

2. Nyamuk tidak terlalu banyak menghisap parasit HIV untuk menularkan AIDS melalui kontaminasi.
Parasit-parasit penyebar penyakit yang memiliki kemampuan untuk menularkan parasitnya dari satu individu ke individu lainnya melalui mulut harus memiliki tingkat sirkulasi yang sangat tinggi dalam aliran darah inangnya. Penularan melalui kontaminasi mulut memerlukan parasit yang jumlahnya cukup untuk dapat menyebabkan terjadinya infeksi baru. Jumlah parasit yang dibutuhkan bervariasi dari satu penyakit ke penyakit lainnya. Parasit HIV sendiri memiliki tingkat sirkulasi yang sangat rendah dalam aliran darah, nilainya jauh dibawah parasit-parasit nyamuk lainnya.
Dalam tubuh penderita AIDS sendiri virus HIV ini jarang-jarang yang tingkat sirkulasinya lebih dari 10 ekor per sirkulasi, dan biasanya 70-80% penderita HIV tidak terdeteksi adanya virus HIV dalam aliran darahnya. Para peneliti melakukan perhitungan sebagai berikut : Misal ada seseorang dengan tingkat sirkulasi virus HIV yang mencapai 1000 dalam aliran darahnya, kemudian ada nyamuk yang mengisap darahnya, maka kemungkinan masuknya satu virus HIV ke dalam seseorang bebas AIDS melalui nyamuk adalah 1 : 10 juta. Dengan kata lain seseorang baru terinfeksi satu virus HIV bila telah digigit oleh 10 juta nyamuk.
Dengan menggunakan perhitungan yang sama, maka jika seandainya ada seekor nyamuk yang sedang mengisap tubuh seseorang, kemudian nyamuk tersebut dipukul sehingga darah dalam tubuh nyamuk tadi tersebar, dan ada yang masuk ke dalam luka. Maka kemungkinan masuknya satu virus HIV ke dalam tubuh manusia tadi adalah sangat tidak mungkin. Mungkin dibutuhkan 10 juta nyamuk.

3. Nyamuk bukanlah Jarum Suntik Terbang
Banyak orang beranggapan bahwa nyamuk yang kecil itu sebagai jarum suntik yang terbang. Jika sebuah jarum suntik dapat menularkan HIV dari satu orang ke orang lainnya maka kemungkinan nyamuk pun juga dapat melakukkan hal yang sama. Pada penjelasan di atas telah dibahas bahwa dibutuhkan paling tidak 10 juta nyamuk agar 1 ekor virus HIV dapat masuk dalam tubuh kita. Walaupun ada penderita AIDS yang memiliki tingkat sirkulasi HIV yang sangat tinggi dalam darahnya, maka penyebaran AIDS melalui jarum yang dimiliki nyamuk tetap tidak mungkin. Mengapa ? Karena cara kerja jarum suntik yang dimiliki nyamuk berbeda dengan jarum suntik yang dipakai oleh orang. Jarum suntik biasa hanya memiliki satu jalur, sedangkan pada nyamuk memiliki dua jalur. Banyak orang yang mengetahui bahwa nyamuk mengeluarkan air liur sebelum mereka menghisap darah dari korbannya, namun perlu diketahui bahwa saluran makanan dan saluran air liur tidak menjadi satu alias terpisah. Satu saluran dipakai untuk menghisap darah dan satu saluran dipakai untuk mengeluarkan air liur dan saluran ini tidak pernah tercampur. Semua saluran hanya bersifat satu arah. Dengan demikian nyamuk bukanlah jarum suntik terbang, dan air liur yang dikeluarkan oleh nyamuk ke dalam tubuhmu tidak dikeluarkan dari darah yang tela dihisap sebelumnya.

Sumber asli dari Why Mosquitoes Cannot Transmit AIDS
by Wayne J. Crans, Associate Research Professor in Entomology
http://blogs.zymanq.com/nyamuk-tidak-menularkan-aids.htm

Rabu, 16 Maret 2011

BONGKAR DUGAAN KORUPSI DI DINKES SUMUT

BONGKAR DUGAAN KORUPSI
DI DINKES SUMUT

Sabtu, 08 Januari 2011

pos metro medan


Ada yang baca harian Analisa atau Pos Metro Medan sekitar tanggal 31 Agustus 2010 yang lalu? Di harian Pos Metro Medan menuliskan dengan judul “6 Cewek Disuntik HIV”. Ceritanya bermula adanya laporan Sa(25) dan Ir (28) kepada pihak kepolisan di Polresta Medan. Sa dan Ir serta 4 orang rekan kerja mereka mengalami peristiwa penusukan dengan memakai jarum suntik sekitar 23 juni 2010 dibagian bokong mereka. Peristiwanya terjadi ditengah diperjalanan ketika mereka sedang menuju tempat kerja mereka . Semua korban merupakan orang yang bekerja pada tempat yang sama yaitu di gedung Bank Sumut Medan. Karena khawatir orang yang menusukkan jarum suntik itu ingin menularkan HIV akhirnya setelah 2 bulan berlalu mereka memeriksakan diri untuk tes HIV, dan hasilnya negative. Saat ini kepolisian sedang melakukan penyelidikan untuk mengusut kasus tersebut yang motifnya diduga adalah adanya peyebatan virus HIV yang dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Peristiwa ini juga pernah terjadi sekitar setahun yang lalu dimana isyu santer menyebutkan sejumlah kursi penonton disejumlah bioskop di Medan telah dipasangi jarum suntik yang sudah terinveksi HIV-ADS, tapi sampai saat ini tidak ada saaupun korban yang melaporkan ke polisi. Bahkan dibeberapa radio di kota Medan mengangkat topic ini menjadi diskusi yang cukup hangat. Sewaktu saya menjadi narasumber dalam dialog interaktif disalah satu radio swasta di Medan ada seorang penelepon mengatakan bahwa adik temannya telah tertusuk jarum suntik ketika sedang menonton di bioskop. Tapi setalah saya beritahu alamat dan no tlp saya orang tersebut sampai saat ini juga belum pernah menghubungi saya. Jadi Waktu itu beritanya hanya menyebutkan katanya-katanya dan katanya.
Melihat cerita-cerita ini saya menjadi prihatin, mengapa yang selalu disalahkan selalu orang dengan HIV. Padahal belum ada bukti apapun, orang-orang sudah menuduh bahwa ini penyebaran HIV. Bagaimana dengan kemungkinan perampokan dengan pembiusan, bukannya sekarang juga banyak perampok yang menggunakan obat bius ketika melakukan aksinya.
Saya melihat masih tingginya stigmatisasi terhadap ODHA atau mungkinkah adanya upaya kriminalisasi terhadap ODHA? Pihak kepolisian juga kecolongan dalam menangani kasus ini, mengapa dugaannya selalu mengarah kepada penularan HIV, bukannya mengarah kepada tindakan criminal yang dilakukan oleh perampok dengan modus pembiusan. Atau ada motif lain yang perlu penyelidikan lebih jauh, mengingat semua korban adalah orang-orang dari satu perusahaan yang sama.
Peran Media juga sama kacaunya dalam pemberitaan, mereka membuat judul berita seolah-olah benar bahwa korban memang disuntik dengan virus HIV, padahal tidak seperti itu kebenarannya .
Kerja kita masih berat kawan, ayo rapatkan barisan…

Chandra

MENELAAH PROGRAM LJSS BERBASIS PUSKESMAS DI SUMUT
Dalam pertemuan Pengguna Narkoba Suntik bersama Dir Narkoba Polda Sumut yang diselenggarakan oleh KPA sumut pada tanggal 23 September 2010 di Medan mengangkat persoalan rendahnya penasun mengases Layanan Jarum Suntik Steril (LJSS) di puskesmas. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan yang didanai oleh GF-ATM R8. Dalam pertemuan ini diikuti oleh PKBI, Pikir, Galatea, Cordia dan perwakilan penasun dari Kota Medan 10 orang, perwakilan penasun dari Kabupaten Deliserdang 10 orang dan perwakilan penasun dari Kabupaten Simalungun 10 orang. Ketika ada pertanyaan pernahkan penasun mengambil jarum suntik baru dipuskesmas? Semua perwakilan penasun dari Medan menjawab tidak ada yang pernah, Deli serdang juga tidak ada yang pernah dan Simalungun kalau tidak salah ada 2 atau 3 orang yang pernah mengakses jarum suntik di puskesmas.

Masalah yang dikemukakan dalam undangan kegiatan ini menyebutkan salah satu alasan penasun enggan mengambil jarum suntik dari puskesmas krn penasun takut ditangkap polisi jika mengambil jarum suntik di puskesmas, tapi sayangnya penasun yang hadir lebih banyak bertanya tentang aspek hukum dari penggunaan narkoba. Bukan hambatan dalam mengakses layanan jarum suntik steril.

Tapi saya coba menjelaskan kepada kawan-kawan pecandu sebenarnya untuk di Medan sudah tidak ada lagi hambatan penasun untuk akses jarum suntik. Karena kepolisian di Medan sudah sangat mendukung untuk program Harm Reduction. Jadi kalau ada penasun membawa jarum suntik baik baru ataupun bekas tidak akan menjadi masalah lagi (tidak akan ditangkap polisi)

Saat ini kepolisian di Medan sudah menerbitkan surat dukungan untuk program HR sejak tahun 2004 dan pada tahun 2009 Poltabes Medan juga sudah menerbitkan surat izin No: B/6027/IX/2009/Tabes MS yang ditandatangani oleh Kapoltabes Medan Komber Drs. Imam Margono untuk penempatan logo Poltabes Medan dalam Stiker yang berbunyi “MEMBAWA JARUM SUNTIK BUKAN PELANGGARAN HUKUM” Artinya setelah dikeluarkannya izin untuk penempatan logo Poltabes Medan, maka hal-hal yang terkait dengan membawa, memiliki, menyimpan jarum suntik tidak akan menjadi masalah jika ada penggerebekan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap penasun.

Ini terjadi di Medan, bagaimana di kabupaten lain?

Jadi mengapa penasun masih enggan untuk datang ke puskesmas untuk akses jarum suntik , jika tidak ada hambatan dari kepolisian? Atau ada alasan lain ?

Dari hasil laporan survey cepat prilaku penasun di Kota Medan yang dilakukan oleh KPA Sumut pada bulan Juni 2010, yang melibatkan sekitar 210 penasun yang ada di Kota Medan, menunjukkan hasil tidak ada satupun penasun yang mengakses LJSS di Puskesmas. Jadi dalam survey tersebut ketika responden ditanya Dimana responden biasa mendapatkan jarum dan alat suntik steril (baru) dalam sebulan terakhir, 98 responden (46,66%) di LSM (LJASS) , 56 responden (26,66%) di klinik/ dokter praktek, 41 responden (19,52%) di apotik, 20 responden (9,52%) ke sesama penasun, dari 14 responden 6,66%) yang mendapat jarum dan alat suntik (baru) dari tempat lainnya yaitu membeli dari satelit . Namun 8 Responden (3,80%) tidak mendapat jarum dan alat suntik steril (baru) dalam sebulan terakhir.

Padahal ketika proses survey ini dilakukan program LJSS di puskesmas sudah berjalan sekitar 7 bulan. Tapi anehnya tidak ada satupun penasun yang mengakses LJSS dari puskesmas.

Untuk menjawab pertanyaan mengapa penasun enggan untuk mengakses LJSS di Puskesmas, Galatea melakukan survey kecil kepada para penasun yang ada di Medan pada tanggal 24 dan 27 September 2010 di 4 lokasi tongkrongan penasun.

Dari 89 responden yang ditanya menyebutkan bahwa hanya 6 orang (6,7%) yang pernah mengakses jarum suntik ke puskesmas. Sedangkan 83 orang (93,3%) tidak pernah akses jarum ke puskesmas. Ketika ditanya alasan mengapa tidak akses jarum ke puskesmas 28,1 % menyebutkan tidak tahu kalau di puskesmas ada program LJSS, 21,3% menyebutkan letak puskesmas terlalu jauh dari komunitas, 39,3% menyebutkan masih adanya LJSS yang dilakukan LSM di komunitas dan hanya 7,8% yang menyebutkan takut untuk datang ke puskesmas.

Jadi sebenarnya alasan terbesar penasun enggan datang ke puskesmas bukan karena takut , tapi karena masih adanya program LJSS yang dilakukan oleh LSM di komunitas. Tapi ketika ditanya seandainya program LJSS yang dilakukan oleh LSM berhenti, apa yang mereka lakukan untuk mendapatkan jarum suntik? Tetap saja puskesmas tidak menjadi pilihan. 75,2% lebih memilih beli jarum suntik di Apotik dan hanya 19,1% yang memilih untuk mengambil jarum suntik di puskesmas. 5,6% memilih untuk pakai jarum bekas.

Jika kondisi ini yang terjadi, lantas bagaimana solusinya. Sepertinya Program LJSS di puskesmas yang dikembangkan melalui program GF ATM R8 sudah berjalan hampir satu tahun, tapi kalau tidak dimanfaatkan dengan maksimal apa yang harus kita lakukan kedepan? Ini menjadi PR bagi para pengelola project GF-ATM. Kalau tidak segera melakukan evaluasi dan perbaikan strategi kemungkinan program LJSS di puskesmas ini akan mubazir dan sia-sia saja.

Semoga tulisan ini bisa menjadi masukan bagi para pengelola program HR melalui project GF-ATM di Sumut.

Mohon maaf atas segala kekurangan.

Salam

chandra